
Sebagai Duta Baca Indonesia sejak Maret 2016, setiap kali mengunjungi sebuah daerah, Najwa Shihab selalu melakukan observasi. Dari apa yang ia dapat, hal itu bisa menjadi inspirasi yang kemudian ia bagi ke daerah-daerah lain.
Selain itu, Nana, panggilan akrab Najwa Shihab, membuat program inisiatif sendiri bernama Pojok Baca, yaitu tempat membaca yang lokasinya di tempat-tempat umum yang biasanya ada antrean. Jadi, ketika menunggu, pilihan membacalah yang akan dilakukan oleh masyarakat yang mengantre.
Meningkatkan minat baca itu sangat penting, apalagi di era teknologi sekarang ini yang sudah melaju begitu cepat. Informasi jadi begitu mudah untuk disebarkan, sekaligus mudah juga untuk didapat. Jika minat baca tidak tinggi, akan lebih banyak masyarakat yang mudah percaya pada berita palsu atau hoax.
Penerapan minat baca ini paling mudah dimulai dari keluarga. Membiasakan anak untuk membaca rutin perlu diterapkan. Menurut Nana, orang tua sekarang terlalu menggebu-gebu untuk mengajarkan anak mengeja. Ketika anak sudah mulai bisa membaca, mereka seperti lepas tangan, tidak lagi menggebu-gebu untuk menjadikan membaca itu sebuah kebiasaan.
Padahal, bisa membaca serta suka membaca merupakan dua hal yang sangat berbeda. “Minat baca itu sesuatu yang harus selalu didorong oleh orang tua,” jelasnya.
Nana teringat masa kecilnya. Ketika pergi keluar rumah, bukulah yang mereka cari. Begitu banyaknya buku, ia dan kakak-kakaknya membuat perpustakaan kecil untuk tetangganya. “Setiap kali buku dipinjamkan, harga sewanya 25 rupiah,” ceritanya semangat.
Kebiasaan membaca itu dibawa hingga Nana memiliki anak. Izzat Ibrahim Assegaf, anak semata wayangnya, terbiasa melihat sang kakek, Prof. Dr. Quraish Shihab, sedang membaca, dan mengikuti kebiasaan itu.
Nana senang melakukan aktivitas membaca buku bersama. Suatu waktu mereka akan mendiskusikan isi buku tersebut.
Dalam keluarga Nana, buku bukan lagi sekadar bahan bacaan melainkan telah menjadi bahan perbincangan untuk menghasilkan sebuah aktivitas bersama. Bisa melakukan aktivitas bersama, termasuk berdiskusi, juga menjadi alasan mengapa Nana mundur dari pekerjaan sebelumnya. Ia ingin lebih dekat lagi dengan sang anak.
Bagi Nana, perlu cara yang kreatif untuk membuat buku menjadi suatu hal yang fun dan relevan untuk dibicarakan bersama. Selain itu, kita perlu membiasakan diri dengan mencari jawaban dari sebuah buku sehingga pengetahuan pun berkembang. Seperti apa yang ia terapkan pada Izzat, ia terapkan pula pada dirinya sendiri. Minimal 20 menit dalam sehari, ia harus menyempatkan diri untuk membaca buku.
“Kemarin baru selesai (membaca) buku Jonas Jonasson, The Girl Who Saved the King of Sweden. Sebenarnya itu buku kedua (buku pertama The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared—red),” kata Nana antusias.
Bagi Nana, membaca buku berseri tak harus berurutan. Temukan pola sesuai dengan keinginan diri sendiri. Bacalah suatu hal yang paling ingin diketahui terlebih dahulu, yang penuh pertanyaan. Hal ini juga disebut dengan membaca aktif, karena pertanyaan yang muncul akan terjawab ketika selesai membaca bukunya.
Dan ketika sudah masuk ke dalam rutinitas sehari-hari, membaca tidak lagi menjadi sebuah beban. Nana bakan berani menyebutkan bahwa membaca merupakan bagian dari hidupnya. Bagian hidup yang akan terus ia bagi, kepada siapa pun yang ingin menerimanya.
Foto: IG Raditya Bramantya
Pengarah gaya: Erin Metasari
Busana:
Rias wajah: Vivi Thalib
Tata rambut: Rolly Holmes