
Mari #throwback ke pertengahan era 90-an, ketika musik indie mulai dikenal di Indonesia. Perkembangan musik begitu gegap gempita, namun hanya bagian masyarakat tertentulah yang mengetahuinya. Terhambatnya mereka untuk mengepakkan sayap tak lain tak bukan karena media yang menolaknya.
Melihat ini, Nasta dan beberapa rekannya mulai bergerak membuat acara musik reguler, setiap satu bulan. Tujuannya sederhana, untuk membangun komunitas agar media melirik alunan musik indie. Lahirlah acara-acara seperti Six to Six, Digital Manifesto, dan Hang the DJ. Dari mulai jenis musik indie pop, indie rock, metal, sampai jenis musik gothic pun ada dalam setiap acara. “Bahkan aku sendiri paling tidak bisa membuat acara hanya satu aliran musik, kayaknya kurang mengajak scene musik lain,” ungkap Nasta.
Di tahun 2002 rutinitas acara musik tersebut dilanjutkan dengan berdirinya sebuah bar di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bernama Parc. Kemudian Nasta membuat acara Monday Mayhem dan Thursday RIOT. Komunitasnya pun semakin kuat, scene musik indie di Jakarta pun semakin bergema suaranya.
Nasta bukan yang pertama. Sebelum ia melahirkan Parc, ada beberapa scene musik yang tutup seperti Poster Café, Manari, sampai kelab kolam renang Pondok Indah. Setelah tutup, apa yang terjadi? “Mati begitu saja scene musiknya,” ungkapnya kecewa, Keinginannya untuk menghidupkannya kembali dibuktikannya dengan Parc bersama rekan-rekannya—Anton Wirjono, Hanin Sidharta, dan Ade Habibie.
Pada saat itu RUang RUpa (RURU) juga baru saja berdiri. Nasta mengandalkan mereka untuk mengurus bagian visualnya seperti dekor dan tata panggung. Berkolaborasinya dua komunitas ini kemudian didengar sampai Bandung dan Yogya. Monday Mayhem semakin dikenal, Yogya dan Bandung pun mendapatkan energi untuk juga ikut menggemakan musik indie.
Semua berjalan sesuai rencana, musik yang ditampilkan semakin berkualitas. Menampilkan vokal yang tidak lagi asal-asalan, memperbaharui citra musik indie. Band-band itu pun mulai bergerilya sendiri-sendiri. Dari mulai memperbanyak kaset yang akan dijual, sampai membuat klip video, semua dilakukan sendiri, tentunya dengan kualitas yang tidak abal-abalan. “Seperti The Upstairs—secara marketing, manajemen, performance, produksi, semuanya kuat sampai menjadi panutan untuk band lain agar memiliki kualitas sebagus itu.”
Hingga 2003 ada Aksara, salah satu label yang berani mengorbitkan band-band indie. Langkah mereka semakin mantap sampai akhirnya MTV mulai menayangkan klip video band-band indie. Musik-musik indie mulai dapat didengarkan setiap hari melalui radio-radio kesayangan. Musik indie pun menerobos, sampai pada akhirnya segala macam acara musisimusisi indie-lah yang dicari.
Tujuan Nasta dan kawan-kawan untuk memperkenalkan musik indie semakin lama semakin menemukan titik cahaya. “Acara-acara yang ada di Parc sebenarnya bukan untuk kami, tetapi untuk band itu sendiri melakukan promosi. Untuk massa band itu juga, supaya mereka ada tempat untuk melepaskan hasrat,” ujar Nasta, tulus.
Musik indie kini sudah sangat berkembang, dan tentunya semakin besar komunitasnya di Indonesia. Tidak hanya di negeri sendiri, alunan indie Indonesia dapat didengar hingga Singapura, Malaysia, Vietnam, juga Thailand. Lagu-lagu indie Indonesia tak hanya mereka dengarkan, tetapi juga menjadi kiblat mereka. “Mereka juga memiliki scene sendiri, tetapi kecil banget, tidak sebesar di Indonesia,” Nasta menutup pembicaraan.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari