
Film berjudul “Ola Sita Inawae” hadir untuk menggambarkan para perempuan kepala keluarga. Mereka berjuang untuk bangkit mengubah nasib.
Hingga saat ini, predikat janda masih sering dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Stigma yang melekat seperti penggoda dan pengganggu rumah tangga kerap masih dipercaya oleh masyarakat. Padahal para janda itu juga wanita yang patut dihargai dan dihormati. Tanpa suami, mereka banting tulang mengais rezeki bagi anak-anak serta keluarganya.
Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) mengawal para janda untuk bisa mandiri sejak 2001. Hadir sebagai dokudrama, film “Ola Sita Inawae” dibuat seperti reka ulang kejadian yang pernah terjadi di Pulau Adonara, Flores Timur, di Nusa Tenggara Timur (NTT). PESONA berkesempatan menonton film ini pada Selasa, 25 Oktober 2016 di Ke:Kini Ruang Bersama, Cikini, Jakarta Pusat.
Sejak 2002, PEKKA masuk ke Adonara untuk membina para wanita tanpa suami. Kisah ini berfokus pada empat tokoh, yaitu Bernadete Deram, Kamsina Palan Bolen, Mardiah Madinah, dan Petronela Peni. Hampir seluruh tokoh di film ini diperankan oleh diri mereka sendiri, termasuk keempat tokoh wanita ini.
Setiap tokoh menjalani perjuangan dan tantangan yang berbeda. Bernadete Deram yang dipanggil Dete mengarungi laut dari Pulau Lembata ke Pulau Adonara di tahun 2002 untuk menjadi fasilitator lapang PEKKA. Di tangan Dete, anggota PEKKA mencapai 2.500 orang. Saat kepercayaan pada PEKKA meredup lantaran ada seorang fasilitator lapang melarikan uang anggota, Dete yang membersihkan nama PEKKA dan mengembalikan kepercayaan para anggota.
Lain lagi dengan Kamsina Palan Bolen. Dari yang tadinya terkenal karena suka bertingkah urakan, Kamsina berubah menjadi kader yang aktif memfasilitasi diskusi politik dan hukum setelah mendapat bekal pelatihan dari PEKKA. Ia berhasil menamatkan Paket C yang diselenggarakan oleh Serikat PEKKA. Kamsina adalah bungsu dari tujuh bersaudara yang menghidupi keponakan-keponakannya.
Jika Kamsina bergulat dengan keterbatasan pendidikan, Mardiah Madinah berjuang dengan keterbatasan fisik. Sejak balita, Mardiah sudah terserang polio sehingga perkembangan kakinya terhambat. Seorang diri, Mardiah menghidupi ibu dan empat orang keponakannya lewat berjualan hasil bumi. Kesuksesan tidak dimanfaatkan oleh Mardiah sendiri. Ia menjadi Kader Serikat Pekka dan mengajarkan keterampilan yang ia kuasai.
Tak hanya mandiri secara ekonomi, anggota PEKKA juga menunjukkan keunggulannya sebagai pemimpin. Petronela Peni terpilih menjadi wanita pertama yang menjadi kepala desa pada 2007-2011 di Kabupaten Flores Timur, NTT, tepatnya di Desa Nisanulan. Semasa menjabat, ia banyak melakukan terobosan. Jalanan dan gedung, ia bangun. Listrik pun mulai masuk desa. Upacara kematian yang tadinya sangat memberatkan warga, mampu ia ringankan.
Dari keempat tokoh ini saya belajar banyak hal. Dengan segala keterbatasan, mereka mau belajar. Bukannya meratapi nasib yang ada, mereka memandang tragedi sebagai bagian hidup yang harus diterima. Mereka bangkit untuk memperbaiki nasib dan membantu sesama wanita yang memiliki kisah serupa.
Tak hanya temanya yang memberdayakan wanita, proses produksi film ini pun menggunakan metode workshop sehingga kader dan anggota PEKKA yang berlokasi di Pulau Lembata dan Adonara dikerahkan menjadi kru maupun aktris. Film ini disutradarai oleh Vivian Idris dari Biru Terong Initiative, dan diproduseri oleh Nani Zulminarni, Koordinator Nasional PEKKA.
“Film ini sendiri merupakan salah satu kisah saat kami memulai dulu. Tujuannya, memberikan gambaran tantangan apa saja yang dihadapi perempuan kepala keluarga. Di samping pengempasan kemiskinan dan sebagainya, keberadaan PEKKA juga untuk melawan stereotip para janda yang selalu dinilai negatif. Mereka dilihat sebagai perempuan lemah, perempuan penggoda, dan sebagainya. Kami ingin memperlihatkan fungsi para janda yang berperan sangat penting. Mereka kepala keluarga yang memperjuangkan dirinya dan keluarganya. Mudah-mudahan film ini bisa memberikan inspirasi,” kata Nani. Film ini juga bertujuan sebagai referensi bagi gerakan perempuan di Tanah Air.
Menurut Vivian, sebanyak 80% kru produksi film adalah anggota PEKKA di Flores Timur, sedangkan sisanya dari Sekretariat Nasional PEKKA dan Biru Terong Initiative. “Film ini tidak hanya berhenti sebagai karya. Tapi proses film di mana kita memberdayakan ibu-ibu perempuan kepala keluarga di daerah, itu intinya,” ujar Vivian.
Dari yang mulanya tidak tahu apa-apa soal film, para anggota PEKKA ini belajar bagaimana menjadi kru yang dituntut profesional dan tanggap menghadapi perubahan di lokasi syuting. Contohnya Petronela Peni yang tak hanya menjadi aktris namun juga menjadi location manager dari film “Ola Sita Inawae.” Sebelum syuting, diadakan workshop untuk menjelaskan peran-peran kru film.
“Meskipun awalnya mereka bingung, begitu sudah berjalan, mereka sudah langsung menguasai. Sambil belajar, mereka langsung praktik,” lanjut Vivian. “Energi mereka itu luar biasa,” ungkap Vivian, yang juga berpengalaman sebagai seorang penulis skenario film. Nantinya film ini akan diputar di kantor-kantor Yayasan PEKKA seluruh Indonesia.
Foto: PEKKA, Biru Terong Initiative