
Coba cek, apakah Anda compulsive shopper dengan menjawab ya atau tidak untuk tiga pernyataan ini.
• Membeli barang yang Anda inginkan, tidak peduli cara melunasinya.
• Membeli barang untuk menghibur diri.
• Perasaan Anda ketika membeli barang jengkel, marah, atau putus asa.
Belanja kompulsif atau oniomania (tak ada hubungannya dengan onion, hi hi) lebih tepat disebut kecanduan. Oniomania digolongkan gangguan pada kemampuan mengendalikan dorongan, dalam hal ini dorongan untuk membeli.
Nama alias oniomania banyak, antara lain compulsive buying, shopaholic, kecanduan belanja, dan compulsive shopping. Oniomania sama buruknya dengan kecanduan alkohol, maka harus dihentikan.
Lazimnya oniomania dialami oleh wanita berusia awal 20-an. Menggambarkan seorang oniomania, Mark Banshick, MD, psikiater anak dan konselor dari New York, memilih tokoh bernama Kate. Kate seorang mahasiswi yang membiayai kuliahnya dengan bekerja paruh waktu.
Karena memikirkan dua keberhasilan yang ingin ia raih yaitu prestasi kerja supaya tetap dapat membiayai kuliahnya, dan memikirkan prestasi belajar agar ia memperoleh beasiswa, Kate jadi mudah merasa cemas dan sering merasa bingung.
Menghalau rasa cemas dan bingung, Kate mulai menghibur diri dengan berbelanja. Ia merasa nyaman dan kecemasannya terobati. Tak hanya keluar masuk toko, ia juga tergila-gila belanja online. Saat membeli barang, Kate merasakan sensasi semacam ‘high’ dan ia merasa terhibur.
Tapi perasaan itu segera lenyap, dan rasa cemas muncul lagi begitu ia melihat barang-barang belanjaannya. Siklus ini muncul berulang: Cemas-belanja-cemas-belanja dan selalu berakhir dengan rasa cemas. Barangnya pun bertumpuk. Ia bahkan pernah mencuri kartu kredit ibunya untuk belanja. Masalah lain muncul: Ibunya harus membayar tagihan.
Ternyata 90% pengidap onimania adalah wanita. Tapi data ini bisa saja berubah, mengingat e-commerce kian berkembang. Beberapa riset menyebutkan, orang yang kecanduan, apa pun itu, cenderung memiliki kadar serotonin yang rendah.
Serotonin sering disebut hormon kebahagiaan, meski sebenarnya bukan hormon. Dalam jumlah normal, serotonin bisa menimbulkan rasa senang. Tapi ketika tubuh mengalami stres berlebihan, dibutuhkan lebih banyak serotonin untuk mengompensasi kondisi itu.
Sama seperti kecanduan lainnya, oniomania memberi pengalaman kenikmatan ketika seseorang membeli dan membayar. Mereka sering perlu merasa diterapi dari depresi, dari rasa marah, kesepian, dan rasa tidak percaya diri.
Momen membayar memberikan eforia sesaat; persis seperti ketika penjudi meletakkan uang taruhannya. Kadang-kadang membayar dapat menjadi simbol ideal diri seseorang. Misalnya saja seorang wanita yang merasa tidak percaya diri dengan penampilannya, ia akan berbelanja produk fashion seperti aksesori dan baju agar merasa diri cantik.
Ketika seorang onimania berbelanja, endorfin dilepaskan dan terjadilah gejolak adrenalin; berbelanja sungguh sangat mengasyikkan! Tapi gejolak ini akan diikuti perasaan malu, menyesal dan merasa bersalah. Setelahnya, ia merasa perlu gejolak lagi. Perilaku ini akan memasukkan penderitanya ke dalam jurang kehancuran: Terlilit utang, depresi lebih dalam, dan kehidupan perkawinan yang kacau.
Onimania bukan retail therapy. Kalau ada asuransi kesehatan yang meng-cover kesehatan jiwa, saya akan ambil! Untuk retail therapy, tentunya.
Sebuah survei di Amerika mencatat, separuh dari penduduk Amerika memilih retail therapy (60% wanita dan 40% pria) untuk memperbaiki mood. Bedanya dengan oniomania, retail therapy tidak pernah membuat seseorang bangkrut. Kartu kredit aman, duit kas juga selamat, namun hati gembira membeli barang yang memang untuk menghadiahi diri sendiri atau mengubah penampilan untuk sukses.
Nah, jenis mana diri Anda? Kalau Anda merasa diri pengidap oniomania, sebaiknya Anda tidak berbelanja. Berbelanja bukan solusi tepat. Yang Anda butuhkan adalah terapi untuk masalah Anda yang lebih dalam.