Ia peduli anak perempuan karena rentan mengalami diskriminasi berlapis, dan anak perempuan memiliki hak asasinya sendiri.
Siang itu, Rotua Valentina Sagala (biasa dipanggil Valen) tampil kasual. Matanya berbinar, suaranya lantang. Kedua tangannya sibuk menggendong Samuel Mangkujaya Djandam dan Christian Mangkuraya Djandam, anak kembar yang kini menyemarakkan hari-harinya. “Setelah berjuang selama tiga tahun, melalui program bayi tabung akhirnya saya bisa memiliki Samuel dan Christian,” ujarnya sambil tersenyum.
Anak dan dunianya telah menarik perhatian wanita kelahiran 9 Agustus 1977 ini sejak lama. Jauh sebelum memiliki anak, rasa kepedulian Valen terhadap dunia anak telah tumbuh sejak ia remaja. Bersekolah di SMU Santa Ursula, Jakarta, Valen diajarkan untuk memiliki rasa kepedulian dan semangat melayani oleh sang kepala sekolah, Suster Francesco Marianti.
Setiap minggu, ia menjadi tenaga pengajar sukarela untuk anakanak kurang mampu yang tinggal di perkampungan nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. “Saya semakin mendapat ruang untuk melayani anak-anak miskin kota yang kesulitan mendapatkan sarana pendidikan dan kesehatan dengan bergabung ke dalam Institut Sosial Jakarta milik Romo Sandy,” ujar istri dari Tri Sukma Anreianno Djandam ini.
Lulus SMA, Valen yang menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dikejutkan dengan kasus perkosaan keluarga Acan di Bekasi. Jiwanya merasa terpanggil dan menyadari bahwa anak perempuan rentan terhadap banyak persoalan, kekerasan, dan terutama perkosaan.
Ia mulai mengikuti seminar untuk mencari tahu cara bisa tampil membela kaum anak dan perempuan. Dari tokoh-tokoh LSM senior, seperti Nursyahbani Katjasungkana, Tumbu Saraswati, Mira Diarsi dan Tati Krisnawati, Valen menyadari bahwa ada dunia para aktivis yang berjuang untuk anak dan perempuan. Sebuah profesi yang menepis bayangan cita-citanya dulu—dari ingin menjadi dokter hingga jadi akuntan.
Akhirnya di tahun 1998, ia memberanikan diri mendirikan Institut Perempuan—sebuah lembaga yang menangani berbagai kasus mengenai perempuan dan anak. Tantangan terbesarnya adalah memberikan edukasi bahwa seorang anak, terutama anak perempuan, memiliki hak asasinya sendiri. Ia berjuang untuk membebaskan anak-anak dari bahaya kekerasan, pelecehan seksual, hingga perdagangan manusia.
“Anak, terutama anak perempuan, rentan mengalami diskriminasi berlapis. Satu sebagai anak, dua sebagai perempuan. Mereka sering kali dianggap sebagai properti, mengalami diskriminasi dan rentan pernikahan di usia dini.”
Sebuah persoalan mendasar yang terjadi pada masyarakat Jawa Barat, pada waktu itu. Daerah yang menjadi kantong buruh migran ini memiliki data signifikan mengenai angka pernikahan muda, kekerasan rumah tangga, angka anak putus sekolah, serta tingkat gizi buruk balita. Valen bersama tim kemudian memperjuangkan agar ada sistem hukum yang berpihak kepada perempuan dan anak terutama bagi masyarakat Jawa Barat. Baginya, sistem peraturan hukum yang ada masih sangat bias.
“Lihat saja dari sistem perundang-undangan pernikahan anak, misalnya. Bagaimana mungkin kita membenarkan anak perempuan dengan usia 13 tahun bisa menikah? Menyedihkan!” ujar penulis buku berjudul Pelacur versus His First Lady? ini dengan lantang.
Bercermin dari hal itu, Valen menginginkan Undang-Undang Perkawinan mengalami perubahan yang nantinya mengatur usia minimal perkawinan. “Meski saat ini ada dua suara, yakni 18 tahun dan 21 tahun, kami akan terus berusaha agar Undang-Undang Perkawinan mengalami revisi. Apalagi Undang-Undang Perlindungan Anak mengatakan bahwa anak menjadi dewasa bila mereka telah berusia 18 tahun. Sementara, bila kita bicara tentang Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja, maka sebetulnya untuk tenaga kerja yang bekerja di luar negeri dan ditempatkan sebagai pembantu rumah tangga, seharusnya memiliki umur minimal 21 tahun.”
Ke depannya, Valen yang sebelumnya telah berhasil membantu pemerintah dalam merilis Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2006 tentang Perlindungan Anak ini masih memiliki pekerjaan berat. Ia merakit aturan bersama pemerintah agar menyediakan akte kelahiran gratis, mencegah korban eksploitasi seksual dan perdagangan anak, serta kekerasan terhadap anak.
Hasil jerih payahnya kemudian diganjar anugerah Role Models for Peace-Indonesia N-Peace Award 2013 oleh UNDP. Tepat di tahun yang sama, ia mendirikan Pagi Foundation yang juga bergerak di isu anak dan perempuan. “Bagi saya, perdamaian berangkat dari kehidupan yang paling personal, yaitu di rumah. Ketika berbicara soal perdamaian, maka seharusnya tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga.”
Foto: Selviana
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Ina Juntak