Sebuah letter holder antik terlihat di atas tumpukan koper di sudut ruangan. “Saya dulu sering surat-menyurat dengan ayah saya,” kata Sarah Moerad, sang empunya rumah. Setitik air mata menetes dari sudut matanya.
Mengenang ayah yang baru saja meninggalkannya setahun silam selalu membuatnya sedih. Karena kebiasaannya dengan sang ayah itu, letter holder ini memiliki arti tersendiri baginya. “Saya beli ini di flea market,” ujarnya. Ia bahkan tak ingat di mana pasar yang ia maksudkan itu. Bendanya mungkin tidak istimewa, tetapi memori yang terkait padanya yang membuatnya tak terlupakan.
Mengenang ayah yang baru saja meninggalkannya setahun silam selalu membuatnya sedih. Karena kebiasaannya dengan sang ayah itu, letter holder ini memiliki arti tersendiri baginya. “Saya beli ini di flea market,” ujarnya. Ia bahkan tak ingat di mana pasar yang ia maksudkan itu. Bendanya mungkin tidak istimewa, tetapi memori yang terkait padanya yang membuatnya tak terlupakan.

Berkeliling di kediaman Sarah, ada satu hal yang langsung terasa. Putih bersih. Atau setidaknya krem. Dinding, sofa, karpet, hingga lampu terasa senada. Inilah dua warna yang mendominasi rumah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini. Sarah memang menyukai warna dasar ini. Padahal, tinggal di Jakarta yang berdebu ini, ia sadar betul barang-barangnya akan cepat kotor. Apalagi jika empat anaknya sedang bermain. Warna ini bisa berpadu dengan apa saja. Begitu pengakuan Sarah.
Senang berkelana membuat Sarah berkesempatan mengunjungi tempat-tempat baru dan menemukan benda-benda baru yang bisa ia letakkan di rumahnya. Selain warnanya, bentuk menjadi perhatian utamanya. “Barang yang saya pilih bisa diletakkan di mana saja,” katanya. Pantas saja—interior rumah ini terasa berbeda dari ketika pertama kali saya berkunjung ke sini. Dalam menyusunnya, ia mengandalkan intuisinya, tanpa seorang desainer interior.
Setiap traveling, Sarah selalu menyempatkan diri untuk pergi ke tempat dijualnya barang antik yang biasanya hanya ada pada akhir pekan. Rasanya puas sekali bila mendapatkan barang-barang setelah melalui proses tawar-menawar yang cukup alot. Hampir sebagian besar barang-barang di rumah ini terlihat antik. Contohnya, satu lemari kayu berisi batik. “Ini warisan almarhumah ibu saya,” ujarnya. Sarah memang senang dengan cerita di balik sebuah benda, apa yang menginspirasi si penciptanya. “Tidak harus barang lama, bisa juga barang baru, seperti ini,” kata Sarah, sambil menunjuk semacam peti berwarna perak yang ada di depan kami. Peti ini berasal dari pesawat yang diubah fungsi menjadi meja. Ada pula chandelier berbentuk tengkorak. “Tapi tidak terlihat menyeramkan, kan?” ia balik bertanya.
[Suka dengan rumah bernuansa kayu? Cek inspirasi nya di sini]
Untuk mengisi rumahnya, Sarah tidak punya penilaian lain selain rasa suka. Jika ia menyukai sebuah lukisan, ia akan membelinya. Siapa pun pelukisnya. Begitu pula dengan furnitur. Tentu saja dengan mempertimbangkan kenyamanan dan daya tahan. Di salah satu dinding, Anda bisa melihat puluhan piring karya seniman Italia, Fornasetti. Ia senang melihatnya karena agak aneh. “Walau sebenarnya, kalau dilihat lama-lama akan pusing juga, ha ha ha...” Ia berniat mengumpulkan 100 piring Fornasetti. Tapi, baru 27 ia sudah berhenti. Bosan, begitu katanya.
Hampir semua benda punya cerita. Ia menunjuk sebuah lampu duduk. Warnanya bisa ditebak, putih. Namun bentuknya bisa membuat orang menoleh dua kali—seperti mainan anak-anak yang disatukan. Sarah tak ingat siapa nama sang artis penciptanya, tapi ia ingat ceritanya. Ini mainan betulan. Direkatkan menjadi satu dan dicat dengan warna putih. Ia terkesima akan ide itu. Seperti juga rumah ini. Semuanya bersatu. Hampir tidak ada sekat, selain dinding dan pintu yang memisahkan ruang komunal dan kamar tidur. Ini memang keputusannya. Ia tidak suka sekat-sekat dan ruang yang bertingkat. Ruang yang terbuka seperti ini dirasanya paling nyaman.
Meski begitu, ia punya ruang favorit—ruangan di bagian belakang rumah yang menghadap kolam renang. Mengapa ini ruang favoritnya? “Jika hari sudah malam, saya bisa melihat kegelapan di luar sana. Melihat hanya lampu kolam renang yang menyala sepertinya nyaman sekali,” ujarnya. Rumahnya adalah kebanggaannya. Inilah ruang tempat keluarga berinteraksi, bercanda, dan bertukar pikiran. Inilah tempatnya berkontemplasi.
Inilah identitas Sarah Moerad.
Foto: Dennie Ramon