
Wanita 69 tahun ini memiliki suara 'paling dikenal' di Indonesia (apalagi bagi yang hobi nonton di bioskop). Sebagai penyulih suara disegani di Tanah Air, Maria Oentoe, penerima Lifetime Achievement dari Komisi Penyiaran Indonesia ini, berkisah tentang era baru dunia sulih suara.
Saya bersyukur pernah bergabung dengan Sanggar Prathivi. Di sana saya belajar banyak hal soal dunia pementasan, mulai dari teater hingga perkenalan dengan dunia sulih suara yang saya tekuni. Dalam sulih suara, kita mesti punya kemampuan untuk memahami karakter. Selain itu, kepekaan terhadap dialog yang perlu diperbaiki, tanpa mengubah esensi. Yang menarik dari dunia sulih suara adalah kita bisa bertemu banyak orang baru. Para seniman hebat, misalnya. Tadinya, kita hanya melihat mereka di layar kaca. Dunia sulih suara membuka pintu untuk berkenalan dengan mereka.
Dulu, permintaan untuk menjadi dubber banyak sekali, mulai dari film, iklan, hingga sandiwara radio. Saya juga sempat menangani beberapa voice over untuk pengumuman kereta api, pesawat dan bus. Tidak tahu juga mengapa mereka memercayakan pada saya. Tetapi penyulih suara memang perlu latihan, seperti intonasi dan artikulasi, agar pesan yang diucapkan terdengar jelas namun juga indah. Saya mengisi suara pengumuman di (jaringan) bioskop 21 sejak 1986. Dulu, mereka pernah menggunakan orang lain, tetapi rupanya tidak cocok. Akhirnya, mereka meminta saya kembali mengisi suara. Kami merekam ulang pada 2005 lalu, karena jumlah teater semakin banyak, termasuk iMax. Ibu Tien Soeharto juga pernah meminta saya mengisi suara di Teater Keong Mas, Taman Mini Indonesia Indah.
[Baca juga tentang visi fashion Susan Budihardjo di sini]
Tantangan untuk menjadi penyulih suara itu banyak. Tetapi, kalau kita menyukai apa yang kita kerjakan, rasanya semua tantangan bisa kita lalui. Yang penting, kita mesti suka dulu, tertarik dulu. Masa-masa terberat saya terjadi pada 2003-2005. Saya membangun studio dubbing di rumah kontrakan di Pancoran. Dari satu studio, berkembang menjadi enam. Tetapi pada 2003, studio terbakar habis. Mungkin karena korslet. Pada 2004, anak saya yang keempat meninggal karena sakit. Pada 2005, suami saya meninggal karena kanker paru-paru. Saya sedih sekali saat itu. Dunia sulih suara sudah sangat berubah saat ini. Dulu, karakter utama dalam film hampir pasti menggunakan dubber. Pemeran dan suaranya bisa berbeda. Tetapi teknologi sudah jauh berkembang. Mereka merekam live, lalu diedit dengan synchronizer.
Permintaan dubbing kini sangat sedikit. Beberapa bulan lalu, KPI menelepon saya. Saya bingung, ini mau disuruh ngapain, ya? Ternyata, mereka mau memberikan penghargaan Lifetime Achievement. Pak Jusuf Kalla yang memberikan penghargaan itu. Mereka menghargai konsistensi saya di dunia sulih suara, padahal saya orang kecil. Di usia saat ini, ketika anak-anak sudah besar, bekerja dan pindah dari rumah, saya banyak menghabiskan waktu di gereja. Saya pergi ke gereja setiap hari, setiap pagi. Di gereja saya merasa tenang. Aktivitas saya adalah mengajarkan orang tentang cara membacakan firman Tuhan dengan indah.
Foto: Muvila.com