Kalimat itu bolak-balik diteriakkan oleh Munan, seorang penghuni panti jompo, saat melampiaskan kekecewaannya kepada anak sulungnya yang diketahuinya melakukan korupsi. Ironisnya, justru si anak sulung itulah yang membiayai kehidupan Munan di panti jompo yang mewah dan sangat mahal itu.
Masih dalam rangka merayakan ulang tahun ke-40, Teater Koma kembali menggelar pentas ke-149 berjudul “Warisan,” pada 10-20 Agustus lalu di Gedung Kesenian Jakarta. Ini adalah pementasan kedua di tahun ini, setelah Maret lalu Teater Koma menggelar (ulang) pentas “Opera Ikan Asin.”
Mengambil setting di sebuah panti jompo, yang terbagi dua antara yang mewah bagi orang-orang kaya dan yang seadanya bagi yang miskin, sutradara dan penulis naskah N. Riantiarno tetap mempertahankan ramuan khas Teater Koma, yaitu kritik sosial yang diramu dengan parodi komedi.
Misalnya, Munan (Budi Ros) yang sangat anti korupsi tapi justru hidupnya dibiayai oleh anaknya yang koruptor.
Ada pula Kirdjomuldjono atau Samana Sama (Idries Pulungan), penulis terkenal yang selalu marah-marah karena kehilangan konsentrasi menulis akibat teriakan-teriakan Munan. Ia justru jadi benar-benar tak bisa menulis setelah Munan berhenti berteriak-teriak setelah menjalin cinta dengan Miranti (Ratna Riantiarno), sesama penghuni panti jompo.
Berbagai kritik terhadap pemerintah, yang sekarang maupun yang sebelumnya, berseliweran. Mulai dari utang negara yang terus membengkak, proyek-proyek yang mangkrak dan jadi candi-candi baru, mantan presiden yang suaranya bagus makanya lebih suka menyanyi daripada bekerja, radikalisme agama, isu-isu SARA yang makin kebablasan, dan terutama korupsi, yang dibalut dalam komedi.
Memang tidak lagi terasa menggigit dan penuh greget seperti dulu, ketika Teater Koma dengan berani mati mengkritik pemerintah di zaman Orde Baru lewat pementasan-pementasannya. Waktu itu mengkritik pemerintah memang masih tabu dan ‘berbahaya’, sehingga penonton justru bergairah dibuatnya.
Di zaman Reformasi seperti sekarang, ketika semua orang bisa mengkritik bahkan mencaci-maki pemerintah, kritikan yang dilontarkan Teater Koma lebih terasa seperti menonton atau membaca ulang berita-berita yang muncul di media massa atau media sosial.
Namun sebagai sebuah karya teater, pementasan ini tetap asyik ditonton, asalkan tidak terlalu lama durasinya. Apalagi saat kita melihat kemampuan para aktornya menirukan bahasa tubuh dan suara para lanjut usia dengan baik.
Yang juga menarik adalah tata rias yang dikomandani oleh Subarkah Hadisarjana, aktor teater dan film yang juga piawai sebagai penata rias panggung.
Namun yang harus diacungi jempol adalah semangat, keberanian, dan konsistensi Teater Koma untuk mempertahankan seni pertunjukkan teater di tengah serbuan film bioskop dan berbagai tayangan hiburan dan infotainment di televisi, internet, dan media sosial.
Foto: Teater Koma