
Tri Risma Harini, Wali Kota Surabaya 2010-2015, penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015—bicara tentang anak-anak dan kepemimpinan.
Dari pengalaman saya sebagai wali kota, ternyata masalah yang paling berat, yang membuat saya harus mengeluarkan ekstra energi, adalah masalah manusianya. Anak-anak yang ibunya tidak bekerja atau di rumah pun bisa bermasalah.
Jadi, sebenarnya yang paling penting adalah kualitas interaksi kita dengan anak, bukan
kuantitasnya. Dan kalau bicara soal kualitas saat berinteraksi, kita harus total.
Saat bicara di depan anak-anak, saya menyadari kalau mereka termotivasi dengan kehadiran saya, dan menjadikan saya role model. Saya menanamkan kepada mereka bahwa keberhasilan dan kesuksesan mereka ditentukan oleh mereka, bukan siapa orang
tua mereka. Itu yang saya coba ajarkan. Menurut saya, itu bagus daripada mereka kemudian mencari-cari ke tempat yang mungkin juga tidak benar.
Untuk apa membangun kota menjadi bagus kalau manusianya tidak bisa merasakan kemajuan dan keindahan kota? Dengan berinteraksi, warga jadi guyub, kompak, dan
mudah sekali untuk digerakkan. Mereka sudah punya modal kerukunan. Bergerak bersama-sama—tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi.
Sebagai pemimpin, saya harus memberikan semangat dan dorongan. Saya belajar bagaimana memimpin itu dari Umar bin Khattab (khalifah dan sahabat Nabi Muhammad SAW).
Tokoh yang menginspirasi saya adalah ayah saya dan Bung Karno. Saya belajar tentang Bung Karno dari buku-buku—bagaimana ia tidak putus asa biarpun dipenjara. Sementara bapak saya, biarpun sudah pensiun, bisa membelikan rumah untuk saya
dari usahanya. Dari situ saya tahu, kita tidak boleh menyerah. Pasti ada jalan.
Saya ingin mewariskan semangat pantang menyerah. Setiap orang punya masalah, dan ada hambatannya. Tapi bukan berarti ia harus menyerah. Saya selalu menyampaikan kalau takdir yang tidak bisa ditolak itu takdir hidup dan mati. Tapi yang lainnya bisa kita ubah. Tidak ada yang tidak mungkin, tidak ada yang tidak bisa. Tinggal kita mau atau tidak.
Saya bermimpi suatu saat anak-anak Surabaya bisa berprestasi bukan hanya di Indonesia tapi juga di (tingkat) dunia. Dulu Surabaya pernah berjaya, pernah jadi kota
perdagangan besar sekali. Jika itu terjadi, berarti mimpi saya sudah terwujud. Ini juga passion pribadi saya.
Terus terang, ilmu arsitektur saya itu hanya untuk diambil sarinya. Sebenarnya saya tidak bisa menggambar, he he he, bisanya hanya corat-coret. Tapi ilmu perencanaan yang saya pelajari dulu itu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, sebelum melakukan apa pun, saya harus punya perencanaan matang. Itu proses keseharian saya.
Selama lima tahun ini, saya tidak pernah cuti. Kalaupun dinas ke luar (negeri), maunya saya sambil belajar. Saya tidak pernah hitung-hitungan soal pekerjaan.
Tidak apa-apa saya dibilang workaholic, ha ha ha. Apa yang saya lakukan, kan, tanggung jawab, bukan hanya kerja keras, atau kecanduan kerja.
Saya mau sehari bisa 25 jam. Kalau bisa 26 jam juga mau, ha ha ha.... Soalnya kalau saya lagi sibuk, 24 jam kurang rasanya.
Foto: Jessica Candradi