Dalam bukunya Time Off for Good Behavior, Mary Lou Quinland, mantan CEO sebuah perusahaan periklanan di New York, menulis tentang para wanita yang --seperti dirinya dan Theresia-- merasa jenuh bekerja, tidak puas, dan bertanya-tanya dalam hati: “Setelah ini, apa?”
Para wanita responden Quinland tidak menyalahkan perusahaan tempat mereka bekerja atau para atasan, atas stres yang mereka alami. Mereka menyalahkan diri sendiri karena mau-maunya bekerja melampaui batas dan hampir tidak pernah mengambil cuti. Seringkali, sekalipun sadar mereka butuh istirahat, mereka selalu mengatakan, “mana sempat?” Seakan-akan bagi mereka hanya ada dua pilihan: kerja keras atau tidak sama sekali. Tidak ada jalan tengah.
Berapa lama?
Setelah mengenali kebutuhan akan istirahat, biasanya kita tidak lantas menulis surat permohonan cuti. Apalagi cuti panjang atau cuti di luar tanggungan. Banyak hal menjadi pertimbangan kita. Beban kerja, tenggat waktu, apa kata bos, apa kata rekan. Apalagi kita terikat peraturan kantor yang memberikan jatah cuti hanya dua minggu setahun.
Kebanyakan wanita yang diwawancarai Quinland hampir tidak pernah bertanya pada diri sendiri, “Apakah pekerjaanku benar-benar membuatku bahagia?” Mereka dengan tekun menjalani hari-hari mereka di kantor tanpa memikirkan kebutuhan mereka sesungguhnya. Sekalipun tahu mereka butuh lebih banyak waktu untuk diri sendiri, jarang terpikir oleh wanita untuk minta cuti empat minggu setahun, atau bekerja paruh waktu, misalnya. Belum dicoba, wanita sudah beranggapan, kantor pasti akan menolak.
Soal lamanya cuti, Mona melewatkan waktu seminggu penuh untuk berleha-leha di Puncak pada hari ulang tahunnya yang ke 42. Maria menabung selama bertahun-tahun dan mengambil cuti di luar tanggungan selama enam bulan, untuk menemani anaknya beradaptasi di sekolahnya yang baru di Singapura. Boleh dikata, lama cuti tergantung pada banyak hal: seberapa jenuh Anda di kantor, sebesar apa kebutuhan Anda, dan tentunya kesiapan Anda dalam hal finansial.