Sesudah mengambil keputusan
Theresia mengakui, betapa berat menghentikan segala aktivitas yang membuatnya sibuk selama seperempat abad. Pada hari-hari pertama cuti ia selalu terdorong untuk membuka e-mail, dan merasa kecewa kalau tidak ada satu pun yang masuk. Keinginan untuk ‘dibutuhkan’ dan terhubung dengan orang lain, hampir tidak bisa diredam. “Tapi aku menyiasatinya dengan menentukan tiga kegiatan dalam seminggu. Antara lain ikut yoga dan kursus melukis. Sisa waktu kuisi dengan berbagai kegiatan yang dulu tidak sempat kulakukan, misalnya mencoba resep-resep baru, jalan-jalan ke mal dengan ketiga putriku.”
Quinland, setelah hengkang dari kantornya, akhirnya mendirikan perusahaan sendiri yang bergerak di bidang marketing. Dia mengakui, tidak semua orang yang memutuskan hubungan kerja bisa berharap mendapat kesempatan yang sama baiknya. “Aku memang ingin merintis usaha sendiri, tapi cukup lama juga aku mereka-reka, apa yang sebenarnya kuinginkan.” Di antara para responden bukunya, banyak yang masih belum tahu apa yang sesungguhnya mereka inginkan. “Kurasa itu normal. Sekalipun masih mencari-cari, mereka sudah tahu mana yang penting,” ujarnya.
Mengingat dia akhirnya sibuk dengan perusahaannya, banyak orang bertanya-tanya, apa bedanya dulu dan sekarang. Dia mengatakan, “Tentu tidak sama. Karena yang kukerjakan adalah sesuatu yang kusukai, bukan yang harus kukerjakan. Aku memang tetap sibuk. Dan ya, aku juga selalu terdorong untuk mencapai hasil yang terbaik. Tapi aku sudah berhasil menarik beberapa garis pemisah.”
Theresia, setelah enam bulan menikmati cutinya, memutuskan untuk mencari kegiatan lain, dan tidak kembali ke kantor lama. Dia mengambil lisensi untuk membuka kursus kumon di rumahnya. Memang murid-murid kecilnya masih bisa dihitung dengan jari, tapi setidaknya ia punya kesibukan dan tujuan lain, ketimbang bertahan di kantor yang membuatnya dilanda ‘penyakit jenuh’.