Pernahkah Anda merasa sakit hati pada tindakan seseorang, sementara orang tersebut seperti merasa ‘tak bersalah’ apalagi minta maaf? Atau, Anda melakukan kesalahan pada orang lain, namun terasa berat mengucapkan kata ‘maaf’? Dan, mungkin Anda telah mengucapkan maaf, tapi apakah maaf itu benar-benar tulus dari lubuk hati yang dalam?
Bukan karena benar dan salah
“Meminta dan memberi maaf adalah salah satu 'pekerjaan hati' yang begitu mendasar. Penting,
tapi tidak mudah dilakukan,” ujar Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik.
Menurut Reza, ada beberapa hal yang menyebabkan pemaafan sulit dijalankan. Salah satunya
karena ada anggapan bahwa orang yang meminta maaf adalah pihak yang salah dan orang yang
memberi maaf adalah pihak yang benar. Polaritas semacam ini seringkali menimbulkan masalah
karena ego pada setiap orang membuatnya untuk berusaha selalu berada pada posisi yang benar,
dengan segala pembenaran yang bisa diciptakan secara kreatif.
Namun, hidup tidak bisa dikotak-kotakkan berdasarkan baik dan buruk, ataupun benar dan salah.
“Semua hal tidak ada yang absolut, tergantung dari situasi dan perspektif yang kita lihat,”
ujar Reza. “Banyak pekerjaan hati seperti meminta dan memberi maaf, mengikhlaskan dan memasrahkan,
menjadi tidak tuntas karena kita terjebak dalam kerangka berpikir 'benar-salah' atau 'baik-buruk'.”
Apapun konflik dan permasalahan yang terjadi, biasanya akan menyebabkan penderitaan pada semua
pihak yang terlibat, terlepas siapa yang benar dan yang salah. Karena itu paradigma meminta dan
memberi maaf bukan lagi perkara benar atau salah, tetapi untuk mengakhiri ketidaknyamanan pada
semua pihak.
Satu hal yang perlu dihindari adalah unsur paksaan atau keharusan. Walaupun nilai-nilai tentang
meminta dan memberi maaf itu telah ditanamkan oleh keluarga, budaya, dan agama, keharusan untuk
meminta dan memberi maaf bisa menghambat tercapainya ungkapan maaf yang tulus.