Bebas dari ketidaknyamanan
Ternyata, memberi maaf juga tidak mudah. Sebab, kita telanjur meyakini bahwa sebagai orang yang
‘harus’ memaafkan, kita berada pada posisi yang benar. Seringkali harga diri kita tak dapat dibendung,
sehingga kita melabelkan hal-hal tertentu sebagai ‘tak termaafkan’. Padahal menurut Reza, “Tidak
ada hal yang tak termaafkan, kecuali batasan yang kita buat sendiri. Jangan paksakan diri untuk
memaafkan kalau memang belum siap.”
Maaf yang sejati tak pernah lahir dari keterpaksaan. Oleh karena itu, memaafkan orang lain dengan
terpaksa belum tentu lebih baik daripada tidak memaafkan sama sekali. “Ketika kita mampu mencintai
orang tersebut apa adanya, sepenuh hati, bahkan menerima dengan ikhlas bahwa orang tersebut bisa
saja mengulangi perilaku yang sebelumnya membuat kita sakit hati, itu tandanya kita sudah memaafkan
orang tersebut dengan tulus,” papar Reza.
Namun yang kerap tidak disadari, sebelum sampai pada pemaafan, kita perlu mencerna dan menetralisasi
semua perasaan negatif, seperti rasa sedih, marah, kecewa, frustrasi, sakit hati, dan tersinggung.
Tanpa melewati proses ini, pemaafan yang kita berikan tidak dapat mencapai ketulusan dan keikhlasan
yang sebenarnya.
Menurut Reza, kita juga harus bisa menerima bahwa orang lain mungkin tidak akan minta maaf atau tidak
akan memaafkan dengan tulus. “Itu hak mereka yang perlu kita ikhlaskan sepenuhnya,” urai Reza.
Pemaafan tidak bisa disikapi sebagai transaksi timbal balik antara kedua pihak. Akan lebih mudah kalau
kita melihat pemaafan sebagai bentuk cinta yang kita berikan dalam kondisi apapun. Dan, setelah cinta
diberikan, maka tugas kita cukuplah dengan menghela napas lega dan merasa ikhlas sepenuhnya.
Shinta Kusuma