Self Power
Ketergantungan pada orang lain telah membuat bangsa ini lemah. Mengapa politik dan negara selalu meninabobokan bangsa ini? Wahai bangsaku, ketahuilah, power atau kekuasaan terbesar dalam perubahan itu tidak akan pernah datang dari luar. Kekuasaan terbesar itu ada dalam inner power masing-masing, yang sumbernya ada pada “self”. Ya, your self. Bukan negara, penguasa, presiden, gubernur, bupati, ketua partai, praktisi, ketua MK, atau bahkan orang-orang kaya sekalipun.
Tergiur oleh gepokan uang, warisan, atau kerlap-kerlip hadiah, telah membuat anak-anak kita lumpuh. Dan ini tak lepas dari peran orang tua, pejabat, dan masyarakat yang pola pikirnya – maaf – telah lebih membentuk “passengers” yang malas (dan boleh terbengong-bengong, ngantuk, bermalas-malasan, tak tahu arah jalan, tak berani mengambil risiko, persis seperti penumpang di sebuah angkot). Ya, kalau mereka bisa menjadi “good passengers” negara belum rugi, namun mematikan self power justru dapat menjadikan anak-anak sebagai ”bad passengers” yang penggerutu, enggan melakukan breakthrough, banyak mengandalkan orang lain. Atau bahkan menjadi “pengganggu” karena mudah cemburu. Orang-orang yang dimanjakan seperti ini punya kecenderungan tak senang melihat keberhasilan orang lain, berorientasi ke masa lalu.
Pendidikan kita memang belum menjadikan “self” sebagai alat yang penting. Kurikulum 2013 belum bisa jadi andalan kalau orang-orang tua menggerakkan pendidikan anak-anaknya 100 persen pada jalur sekolah. Sementara para ahli hanya berdebat adu kepintaran, bukan mendorong “curiosity”, critical thinking, creative thinking, dan action yang ditanam melalui memori-memori otot (myelin). Kita masih cuma gemar adu argumentasi biar kelihatan pintar.
Maka, “to make it short”, wahai orang tua, berikanlah anak-anakmu self power. Beri mereka tantangan bukan jawaban, sebab mereka kelak dibesarkan dalam lingkungan yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan kita. Suruhlah mereka aktif berpikir dengan berani kesasar, berani mencari jalan-jalan baru, ilmu-ilmu baru. Jangan sering-sering menuntun, karena begitu engkau menuntun, GPS yang ada di kepala masing-masing akan dimatikan.
Berikanlah mereka tanggung jawab mengelola sesuatu. Jangan berikan mereka baby sitter, pembantu yang berlebih, atau duduk dalam business class sebelum waktunya. Latihlah mereka “memberi pelayanan”, bukan “menikmati layanan” justru di saat mereka harusnya dilatih menjadi pelayan. Latihlah mereka berpikir, jangan menghafal. Tak apa tidak naik kelas, asalkan mereka merasa tercambuk. Tak apa nilai sekolah hanya 6 atau 7 kalau itu benar-benar karena berpikir. Tak apa tak masuk ranking “top 10” asalkan pergaulan luas dan memiliki self power.
Anak-anak itu belajar dari sekolah, lingkungan, dan orang tua. Percuma dapat nilai 10 di sekolah kalau di rumah dan lingkungannya nol. Anak-anak seperti itu tak memiliki masa depan kalau inner self-nya dimatikan.
Wahyu Nusantaraji dan generasinya tak boleh mengandalkan negara. Mereka harus mengandalkan self power. Demikian juga Nargis Kumar, Danice May, dan Adnan Nevic. Demikian juga anak-anak yang dibesarkan oleh keluarga-keluarga sejahtera. Anak-anak itu tak boleh hidup dalam proteksi yang berlebihan. Ijazah sekolah-sekolah terkenal itu hanyalah hiasan dinding belaka, hanya kebanggaan orang tua, bila tak dilengkapi self power. Maka didiklah mereka mandiri, berani berpetualang, dan menghadapi tanggung jawab. Lebih baik gagal sekali dalam hidup, daripada gagal selama-lamanya. Merdekalah Indonesia, merdekalah anak-anakku, merdekalah orang-orang tua yang bijaksana.
Rhenald Kasali