Relasi antarindividu mandiri
Benarkah ini adalah bentuk perkawinan masa kini? Menurut Roslina, mungkin saat ini para suami –terutama di negara-negara Timur, termasuk di Indonesia— sebenarnya belum bisa menerima sepenuhnya kondisi tersebut secara ikhlas. Mereka menerimanya lebih karena 'terpaksa'.
Namun, Roslina menambahkan, untuk generasi-generasi ke depan, mungkin unsur keterpaksaan itu akan hilang seiring waktu. “Karena, mereka adalah anak-anak (lelaki dan perempuan) hasil didikan para orang tua yang sama-sama bekerja dan mandiri. Mereka sudah terbiasa melihat ayah dan ibu mereka sama-sama sibuk mencari nafkah, sehingga nilai-nilai itulah yang akan mereka bawa dan terapkan dalam perkawinan mereka kelak,” tutur Roslina.
Mengutip John M. Gottman Ph.D lewat bukunya The Science of Trust: Emotional Attunement for Couples, casual marriage memang merupakan bentuk perkawinan ideal di zaman modern. Ia menyebutnya sebagai relasi antarindividu yang sama-sama sudah mandiri (independent), baik secara keuangan, karier, kehidupan sosial, maupun kepribadian.
Tak usah jauh-jauh melihat ke masa depan, pada saat ini pun makin banyak orang memutuskan untuk menikah, baik pria maupun wantia, setelah mandiri. Masing-masing biasanya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, serta memiliki pola dan lingkungan pergaulan sendiri. Selain itu, biasanya pendidikan suami dan istri juga setara. Pendidikan dan pengalaman kerja itu membuat mereka terbiasa menyelesaikan masalah dengan sistematis (dan profesional). Dengan begitu, saat menikah mereka biasanya sudah terbentuk menjadi pribadi yang mandiri. Dan karena sama-sama sudah mandiri, maka untuk kembali ke model perkawinan konvensional –yang masih menekankan hak dan kewajiban suami istri— rasanya sulit, dan kalau dipaksakan justru akan menimbulkan banyak konflik.
Selain itu, Gottman juga berkeyakinan bahwa apabila kebutuhan emosional seseorang (suami maupun istri) terpenuhi dengan cukup (misalnya lewat berkarier, bersosialisasi, atau melakukan hal-hal yang menjadi minatnya), maka biasanya dia akan merasa lebih nyaman dengan diri sendiri dan hidupnya, sehingga lebih mudah untuk bertoleransi. Dengan begitu kehidupan perkawinan yang penuh lika-liku itu akan terasa lebih ringan untuk dijalani.
Namun bukan berarti model casual marriage tak punya kelemahan. Kalau suami istri terlalu longgar menetapkan batasan-batasan, bisa-bisa tali pengikatnya longgar, lepas, dan akhirnya bubar. Selain itu, sejauh ini hambatan dalam menjalani konsep casual marriage biasanya datang dari pihak laki-laki. Mungkin karena ibu-ibu mereka dulu masih memberi perlakukan istimewa pada anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Salah satunya dengan tidak memperkenalkan anak-anak lelaki mereka pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Karena itu, wahai para ibu modern, tugas kitalah mendidik anak-anak lelaki kita sekarang agar nantinya tumbuh menjadi pribadi yang menghargai kesetaraan gender.