Ketika salah memilih investasi
Bagaimana jika di tengah jalan kita baru menyadari produk investasi yang kita pilih ternyata salah?
Namanya juga investasi, tentu kita mengharapkan ada keuntungan yang bisa dipetik meski
harus menunggu jangka waktu tertentu. Nah, bagaimana jika di tengah jalan kita baru
menyadari produk investasi yang kita pilih ternyata salah? Alih-alih untung, malah buntung.
Masih mungkin kah dikoreksi? Atau, kita hanya bisa gigit jari sambil berharap keajaiban
turun dari langit, seperti dua kisah berikut ini!
Karin (42) sempat depresi. Lahan tanah yang ia beli untuk investasi ternyata nilai jualnya
masih sama seperti 5 tahun lalu. Padahal ia membayangkan harganya sekarang naik
berkali-kali lipat sehingga bisa meraup keuntungan. Bingung tidak tahu apa yang harus
dilakukan, akhirnya ia biarkan saja tanah tersebut terbengkalai.
Menurut Perencana Keuangan Independen Ligwina Hananto, masih terbuka peluang untuk
merevisi investasi yang telanjur salah. Seperti kasus Karin, Ligwina memberikan solusi
untuk menjual tanah tersebut meskipun berarti tidak mendapatkan keuntungan. Daripada
idiamkan saja karena kecil kemungkinan harganya akan mengalami lonjakan tinggi. “Dijual
lalu dananya dialihkan ke produk investasi lain dengan nilai return lebih agresif seperti
yang diharapkan. Mungkin awalnya rugi tapi kalau dibiarkan saja ruginya akan terus
bertambah,” saran Ligwina.
Lain lagi kisah Maura (36). Setelah 3 tahun membeli produk investasi unitlink yang
menggabungkan investasi dan asuransi, ia mendengar pernyataan para pakar keuangan di
sosial media bahwa produk tersebut menghasilkan return yang jauh lebih rendah dibandingkan
membayar investasi dan asuransi secara terpisah. Setelah dicek, benar saja. Tapi, apa daya?
Karena takut kehilangan uang yang telah dikeluarkan, terpaksa tetap ia lanjutkan.
Sementara menurut Ligwina, “Kalau dihentikan di tengah jalan, rugi sudah pasti. Tapi kalau
mau diteruskan akan lebih rugi lagi. Sebaiknya dihentikan saja apalagi kalau sudah punya
asuransi tersendiri yang bisa meng-cover biaya kesehatannya. Kemudian alihkan dengan
membeli produk investasi dengan return lebih agresif misalnya reksadana.” Namun, Ligwina
menegaskan kedua solusi yang ditawarkan tersebut bersifat umum dan perlu dianalisa kondisi
keuangan setiap kasus untuk solusi yang lebih spesifik.