Kapan kita perlu cuti panjang? Kalau kita pekerja keras, tidaklah mudah untuk memutuskan mengambil cuti lama. Perlu ada ‘saat nekad’. Saat, ketika realitas hidup seolah menampar. Lina ingat, “Suatu kali aku terpaksa meninggalkan anakku yang dirawat di rumah sakit karena panas tinggi, dan menyerahkannya untuk dijaga ibuku, sebab aku harus menghadiri rapat yang sangat penting. Di ruang rapat, terpikir olehku, “Ini bukan aku. Bukankah aku bekerja, antara lain untuk anakku juga? Lantas, pada saat dia membutuhkan aku, kenapa aku tidak ada di sisinya? Mengapa aku meninggalkan dia demi pekerjaanku? Aku jadi malu akan diriku.” Saat itulah Lina memutuskan mengambil cuti mendadak, terserah apa penilaian atasan terhadap dirinya.
Namun biasanya saat-saat seperti ini tidak membuat kita nekad mengajukan cuti di luar tanggungan, apalagi berhenti bekerja. Biasanya kita mengendapkannya dulu dan terus mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah. Bukankah selama ini kita pribadi yang ulet dan bisa diandalkan?
Kelelahan juga suatu alasan untuk cuti panjang. Yang berikut ini pengalaman Renata. “Selama beberapa tahun belakangan, aku mengalami insomnia. Setiap pukul tiga pagi aku terbangun dan susah tidur lagi. Kukira itu karena kepalaku terlalu penuh dengan berbagai persoalan. Akhirnya aku tahu, susah tidur itu tanda bahwa aku perlu beristirahat.”
Kelelahan juga suatu alasan untuk cuti panjang. Yang berikut ini pengalaman Renata. “Selama beberapa tahun belakangan, aku mengalami insomnia. Setiap pukul tiga pagi aku terbangun dan susah tidur lagi. Kukira itu karena kepalaku terlalu penuh dengan berbagai persoalan. Akhirnya aku tahu, susah tidur itu tanda bahwa aku perlu beristirahat.”
Pertanda lain adalah perubahan kepribadian. “Pada dasarnya aku periang. Tapi belakangan ini aku menjadi tidak sabaran, mudah marah, dan bicaraku ketus,” Renata mengakui.
Pengalaman Yana, direktur perusahaan yang bergerak di bidang retail, ada miripnya. “Suatu kali aku dan suamiku berlibur ke Bali. Kami bertekad untuk benar-benar istirahat. Namun baru hari kedua, sementara suamiku berbaring santai di kursi malas di teras penginapan, aku terlibat perdebatan sengit dengan rekanku di kantor, melalui ponsel. Setelah percakapan selesai, suamiku mengatakan, “Lihat kan, kamu jadi apa sekarang?” Mereka pun memutuskan memperpanjang liburan, dan selama itu ponsel Yana dinon-aktifkan.
(bersambung)
(bersambung)