
Konsep membeli kucing dalam karung mengingatkan saya pada sebuah reality show yang akan tayang di Lifetime, jaringan televisi kabel berbayar per 16 Februari 2015 nanti. Nama acara itu adalah Married at First Sight. Bayangkan, beberapa pasangan yang tidak pernah bertemu atau mengenal satu sama lain akan bertemu pertama kali di altar dan langsung menikah! Setelah beberapa minggu bersama, masing-masing pasangan membuat keputusan: apakah mereka akan tetap bersama atau memutuskan untuk berpisah.
Memang, ada orang-orang di belakang mereka yang memasangkan tiap peserta yang mendaftar menjadi pasangan. Orang-orang tersebut juga yang akan mendampingi para pasangan dalam pernikahan di minggu-minggu pertama. Tentu saja, mereka bukan orang biasa. Mereka adalah para ahli di bidang relasi dan seksualitas, yaitu psikolog, sosiolog, seksolog, dan spiritualis.
Kembali pada permasalahan kejutan manis dari pasangan setelah menikah, jujur saja, kehidupan pernikahan tidak pernah mudah. Sahabat saya sudah berpacaran sembilan tahun sebelum menikah. Tiga bulan kemudian, ia datang kepada saya bersimbah air mata. Apa pasal? Suaminya sering mengajak bercinta di pagi hari, sementara sahabat saya merasa harus bergerak cepat di pagi hari untuk menghindari kemacetan Ibu Kota. Ujung-ujungnya, sang suami ngambek karena merasa tidak dianggap dan seperti yang kemudian terjadi, mereka bertengkar. Padahal, ini baru masalah: bercinta di pagi hari atau tidak dalam tiga bulan pertama. Bila pasangan tersebut dapat berkomunikasi dengan baik dan memecahkan masalah berdua dengan baik tentu saja akan menjadi akhir yang manis. Tapi, bagaimana bila seperti sahabat saya yang dengan masalah sex in the morning tadi? Dari dulu ia selalu mengaku “I’m fool in conversation” dan akibatnya, selalu saling menuding. Atau bagaimana pasangan yang harus mencari awal kebekuan dari pernikahan mereka yang perlahan mendingin?
Saya tergelitik dengan Married at First Sight yang seolah ingin mengatakan peran “pihak ketiga” dalam sebuah pernikahan. Kendati sudah dipasangkan oleh para ahli dan dinilai akan harmonis bersama tetap saja ada konflik mulai dari hal sepele hingga prinsipil. Konflik tersebut tidak dipecahkan sendiri oleh para pasangan peserta Married at First Sight. Seperti yang sudah saya katakan diatas, mereka didampingi oleh ahlinya. Keterlibatan “pihak ketiga” yang memang mumpuni membantu para pasangan tersebut melewati konflik. Tidak selalu happy ending, tetapi para pasangan tersebut bisa berpikir jernih dan menemukan keputusan terbaik untuk mereka.
Dalam kehidupan nyata, sahabat saya dan suaminya akhirnya menemui psikolog dan seksolog. Ketika saya bertanya mengapa akhirnya ia dan suami pergi menemui konsultan. Ia berkata, “Karena kami menyayangi hubungan ini. Dan kami akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan hubungan ini. Termasuk melibatkan pihak ketiga yang membantu.” Pernikahan happily ever after hanya ada dalam dongeng klasik. Kebahagiaan dalam pernikahan harus diperjuangkan, salah satunya membiarkan orang lain yang ahli dan netral menolong pernikahan Anda. Seperti kata petuah bijak berikut ini, “Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and be brave to ask for it.”
Monika Erika
foto: dok.Lifetime