
Cinta adalah pengorbanan. Betapa sering kita mendengar ucapan itu. Terdengar mulia, sakral, dan menggetarkan. Terbayang pengorbanan seorang ibu saat berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan anak; pengorbanan Yesus di tiang salib demi menyelamatkan umat manusia; pengorbanan sebatang lilin yang rela hancur demi memberi terang.
"Istilah 'pengorbanan' inilah yang kerap disakralkan oleh banyak orang, terutama kaum perempuan, seolah semua jenis pengorbanan adalah suci dan akan diganjar surga di akhirat kelak. Dan ini pula yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan supremasi laki-laki, kalau perlu dengan mengutip ayat-ayat suci," kata psikolog Roslina Verauli atau biasa disapa Vera.
Akibatnya, ia menambahkan, banyak perempuan tidak bisa lagi membedakan antara berkorban dan menjadi korban. "Memutuskan berhenti bekerja agar bisa sepenuhnya merawat anak yang cacat tentu bisa dikategorikan sebagai pengorbanan. Tapi berhenti bekerja karena permintaan suami yang tak suka melihat istrinya maju, jelas itu bukan pengorbanan, melainkan membiarkan diri menjadi korban," tutur Verauli.
Padahal, menurut Dr. Sandra Olic, NMD, dokter neuropati dari Arizona University yang banyak menangani kasus-kasus KDRT di Amerika Serikat, penderitaan itu sesungguhnya bisa dihindari, atau sedikitnya dipersingkat, dengan mengubah persepsi dan pemahaman bahwa, ya, merasa sakit (pain) kadang memang tak terhindarkan dalam kehidupan, tetapi menderita (suffering) adalah sebuah pilihan. Kalau kita terlibat dalam suatu hubungan yang membuat hidup kita menderita, tanyakan pada diri sendiri apa yang sesungguhnya membuat kita menderita.
"Tapi satu hal sudah pasti: itu bukan cinta! Karena cinta tidak memberatkan, tidak melelahkan, tidak membelenggu, tidak menimbulkan rasa insecure. Cinta bukan cemburu, bukan rasa marah, tidak menebar rasa takut, justru memberi keberanian dan rasa aman. Cinta tidak akan menganiaya, tidak menuntut pembalasan dendam, tidak menipu, dan tidak mengkhianati. Cinta seharusnya menenangkan, mendamaikan, membuat kita merasa berharga, dihargai, fulfilled. Bukan justru membuat kita merasa dilecehkan, tidak berarti, tidak berharga, atau merasa kesepian. Kalau kita merasa menderita dalam sebuah hubungan, bukan cinta yang menyebabkannya, melainkan rasa kehilangan cinta atau rasa takut kehilangan cinta," urai Olic.
"Istilah 'pengorbanan' inilah yang kerap disakralkan oleh banyak orang, terutama kaum perempuan, seolah semua jenis pengorbanan adalah suci dan akan diganjar surga di akhirat kelak. Dan ini pula yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan supremasi laki-laki, kalau perlu dengan mengutip ayat-ayat suci," kata psikolog Roslina Verauli atau biasa disapa Vera.
Akibatnya, ia menambahkan, banyak perempuan tidak bisa lagi membedakan antara berkorban dan menjadi korban. "Memutuskan berhenti bekerja agar bisa sepenuhnya merawat anak yang cacat tentu bisa dikategorikan sebagai pengorbanan. Tapi berhenti bekerja karena permintaan suami yang tak suka melihat istrinya maju, jelas itu bukan pengorbanan, melainkan membiarkan diri menjadi korban," tutur Verauli.
Padahal, menurut Dr. Sandra Olic, NMD, dokter neuropati dari Arizona University yang banyak menangani kasus-kasus KDRT di Amerika Serikat, penderitaan itu sesungguhnya bisa dihindari, atau sedikitnya dipersingkat, dengan mengubah persepsi dan pemahaman bahwa, ya, merasa sakit (pain) kadang memang tak terhindarkan dalam kehidupan, tetapi menderita (suffering) adalah sebuah pilihan. Kalau kita terlibat dalam suatu hubungan yang membuat hidup kita menderita, tanyakan pada diri sendiri apa yang sesungguhnya membuat kita menderita.
"Tapi satu hal sudah pasti: itu bukan cinta! Karena cinta tidak memberatkan, tidak melelahkan, tidak membelenggu, tidak menimbulkan rasa insecure. Cinta bukan cemburu, bukan rasa marah, tidak menebar rasa takut, justru memberi keberanian dan rasa aman. Cinta tidak akan menganiaya, tidak menuntut pembalasan dendam, tidak menipu, dan tidak mengkhianati. Cinta seharusnya menenangkan, mendamaikan, membuat kita merasa berharga, dihargai, fulfilled. Bukan justru membuat kita merasa dilecehkan, tidak berarti, tidak berharga, atau merasa kesepian. Kalau kita merasa menderita dalam sebuah hubungan, bukan cinta yang menyebabkannya, melainkan rasa kehilangan cinta atau rasa takut kehilangan cinta," urai Olic.
Tina Savitri