
Awalnya saya mengetahui nama besar Sorrento dari salah satu komoditas pertaniannya, yakni jeruk lemon dan produk limoncello, minuman epritif yang terbuat dari perasan jeruk lemon, gula, air, alkohol, dan sering dicampur dengan parutan kulit jeruknya. Jeruk lemon Sorrento sudah mendunia, bahkan telah mendapat sertifikat Indikasi Geografis yang artinya keberadaan dan nama wilayah Sorrento telah dijadikan semacam merk resmi yang diakui kualitasnya. Sepintas saya mengkhayal betapa luasnya areal pertanian di Sorrento yang diperuntukkan untuk komoditas unggulan ini.
Namun ketika kereta Circumvesuviana melintas area pepohonan jeruk yang ternyata hanya berukuran beberapa kali lapangan bola saja, seketika itu pula saya terhenyak sadar. Sorrento bukan hanya komoditas jeruk lemon. Ia adalah penjelmaan seni cipta karya yang terpadu. Bila Sorrento hanya mengandalkan dari menjual komoditas jeruk lemon, sudah pasti tidak akan bisa menggairahkan keseluruhan aspek perekonomian di sana karena luas perkebunan yang tidak sebanidng dengan produktivitas. Namun apa yang dilakukan Sorrento adalah menawarkan keindahan cita rasa jeruk lemon dan potensi alam yang menghasilkan rasa tersebut.

Karena posisi Sorrento yang terlindung dari tebing, maka angin yang bertiup dari laut tertahan oleh tebing-tebing tersebut dan jatuh menerpa pepohonan lemon. Intensitas sinar matahari yang cukup bahkan di saat musim dingin sekalipun menambah kekayaan rasa jeruk lemonnya. Tanah vulkanik akibat abu letusan gunung Vesuvius juga menjadi faktor penentu mengapa rasa jeruk lemon Sorrento sangatlah berbeda dengan jeruk dari pulau Sicilia. Jeruk lemon Sorrento sangatlah cocok dijadikan bahan baku hidangan pencuci mulut karena rasa asam yang cerah dan diikuti oleh manis yang lamat. Sedangkan jeruk lemon Sicilia cocok dijadikan bahan baku masakan karena ada bayang rasa pahit dan asam yang berat.
Di banyak toko oleh-oleh di sepanjang Via Cesareo terdapat aneka olahan jeruk lemon, seperti limoncello, selai jeruk lemon, kulit jeruk lemon yang dibalut cokelat, selai jeruk lemon, dan juga jeruk lemon segar yang memasuki musim panen mulai dari bulan Mei sampai akhir September. Akan sulit menemukan jeruk lemon Sorrento segar di berbagai pelosok Italia, karena pasokan yang terbatas namun itulah letak keistimewaannya. Penikmat cita rasa akan berbondong-bondong ke Sorrento di saat musim panen hanya demi untuk mencecap rasa lemon di panen perdana dan tentu saja aneka macam hidangan yang terbuat dari jeruk lemon. Harga jeruk lemon Sorrento tentu saja jauh lebih mahal dari jeruk lemon impor dari Spanyol, Brazil, bahkan dari banyak negara di Afrika, namun peminat jeruk ini tetaplah ada.
Saya membayangkan bila Indonesia mampu melakukan transformasi potensi komoditas pertaniannya, seperti jeruk brastagi, mangga gedong gincu indramayu atau kawista rembang. Bukan hanya menjual jeruk, mangga, atau kawista, bukan hanya menjual jus jeruk, keripik mangga, atau sirup kawista saja, tapi menawarkan khasanah keunggulan geografis dan potensi keindahan alam sebagai daya tarik wisata cita rasa. Seperti layaknya Sorrento.
Jadi wajar saja jika lagu yang menggambarkan kota ini kemudian diakhiri dengan ajakan untuk kembali ke Sorrento. Come back to Sorrento, so I can mend!
Namun ketika kereta Circumvesuviana melintas area pepohonan jeruk yang ternyata hanya berukuran beberapa kali lapangan bola saja, seketika itu pula saya terhenyak sadar. Sorrento bukan hanya komoditas jeruk lemon. Ia adalah penjelmaan seni cipta karya yang terpadu. Bila Sorrento hanya mengandalkan dari menjual komoditas jeruk lemon, sudah pasti tidak akan bisa menggairahkan keseluruhan aspek perekonomian di sana karena luas perkebunan yang tidak sebanidng dengan produktivitas. Namun apa yang dilakukan Sorrento adalah menawarkan keindahan cita rasa jeruk lemon dan potensi alam yang menghasilkan rasa tersebut.

Karena posisi Sorrento yang terlindung dari tebing, maka angin yang bertiup dari laut tertahan oleh tebing-tebing tersebut dan jatuh menerpa pepohonan lemon. Intensitas sinar matahari yang cukup bahkan di saat musim dingin sekalipun menambah kekayaan rasa jeruk lemonnya. Tanah vulkanik akibat abu letusan gunung Vesuvius juga menjadi faktor penentu mengapa rasa jeruk lemon Sorrento sangatlah berbeda dengan jeruk dari pulau Sicilia. Jeruk lemon Sorrento sangatlah cocok dijadikan bahan baku hidangan pencuci mulut karena rasa asam yang cerah dan diikuti oleh manis yang lamat. Sedangkan jeruk lemon Sicilia cocok dijadikan bahan baku masakan karena ada bayang rasa pahit dan asam yang berat.
Di banyak toko oleh-oleh di sepanjang Via Cesareo terdapat aneka olahan jeruk lemon, seperti limoncello, selai jeruk lemon, kulit jeruk lemon yang dibalut cokelat, selai jeruk lemon, dan juga jeruk lemon segar yang memasuki musim panen mulai dari bulan Mei sampai akhir September. Akan sulit menemukan jeruk lemon Sorrento segar di berbagai pelosok Italia, karena pasokan yang terbatas namun itulah letak keistimewaannya. Penikmat cita rasa akan berbondong-bondong ke Sorrento di saat musim panen hanya demi untuk mencecap rasa lemon di panen perdana dan tentu saja aneka macam hidangan yang terbuat dari jeruk lemon. Harga jeruk lemon Sorrento tentu saja jauh lebih mahal dari jeruk lemon impor dari Spanyol, Brazil, bahkan dari banyak negara di Afrika, namun peminat jeruk ini tetaplah ada.
Saya membayangkan bila Indonesia mampu melakukan transformasi potensi komoditas pertaniannya, seperti jeruk brastagi, mangga gedong gincu indramayu atau kawista rembang. Bukan hanya menjual jeruk, mangga, atau kawista, bukan hanya menjual jus jeruk, keripik mangga, atau sirup kawista saja, tapi menawarkan khasanah keunggulan geografis dan potensi keindahan alam sebagai daya tarik wisata cita rasa. Seperti layaknya Sorrento.
Jadi wajar saja jika lagu yang menggambarkan kota ini kemudian diakhiri dengan ajakan untuk kembali ke Sorrento. Come back to Sorrento, so I can mend!
Lisa Virgiano
Foto: dok. pribadi & TPGNews