

Membaca headline di teve dan surat kabar, hampir semua membahas soal dampak harga BBM yang naik, yang mengakibatkan harga-harga pokok ikut meroket. Sampai-sampai kita yang mengikutinya pun ikut naik darah, kecewa, dan cemas. Ya, waswas kalau-kalau keuangan kita di bulan-bulan mendatang akan terus defisit. Bisa-bisa kita terpaksa membobol dana cadangan untuk sekolah anak atau mencari pinjaman utang kiri-kanan.
Inilah salah satu kecemasan dan keluhan yang sering terdengar dari kalangan kelas menengah, kata Ligwina Hananto, financial planner dari QM Financial, akrab disapa Wina. Agak aneh memang. Golongan yang menurut data AC Nielsen berpenghasilan rata-rata 63 juta rupiah per tahun ini mestinya berdaya secara finansial. Mereka mengenyam pendidikan tinggi, serta memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup baik. Semestinya mereka tidak perlu pusing dengan kondisi moneter yang naik-turun.
Sayangnya, dari hasil pengamatan profeisonal Wina selama ini, justru banyak keluarga golongan menengah (Indonesia) yang hidup dengan uang pas-pasan. Bahkan banyak yang tak sadar tengah menggali kemiskinannya sendiri. Antara lain dengan memakai kartu kredit tanpa sanggup membayar tagihan bulanannya, memaksa beli tas atau sepatu mahal dengan mencicil, dan berasyik-asyik liburan ke luar negeri dengan biaya dari utang kartu kredit.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Wina mengemukakan masalah utama warga kelas menengah yang hidup di perkotaan (terutama perempuan) adalah 'lebih besar pasak daripada tiang'. Alias sulit mengerem pengeluaran dan gaya hidupnya sehingga melebihi penghasilan mereka. Misalnya gaji bulanan Rp 3 juta tetapi pengeluaran Rp 30 juta. Kesimpulannya, kata Wina, masalahnya bukan pada dasar penghasilan, tetapi pada bagaimana mengelola pengeluaran.