
"Di kota besar biaya hidup relatif lebih tinggi daripada kota-kota yang lebih kecil, namun penghasilan yang diterima kelas menengah tidak seiring dengan pengeluaran yang terus meningkat dari waktu ke waktu," ujar Prita Ghozie, financial planner dan CEO ZAPFinance. Faktanya, survei ekonom Tullio Jappelli (2009) mengungkapkan, dari 1 juta lebih golongan ekonomi menengah di Indonesia, baru 24% pasangan yang mampu menyisihkan 20% dari penghasilan tahunan mereka. Demikian kutipan yang diambil dari buku terbaru Prita, Make It Happen!
Di buku tersebut, Prita juga mengungkap tiga penyebab masalah tekornya keuangan keluarga kelas menengah ini:
50% tidak bisa membedakan antara simpanan, tabungan, dan investasi
Kebanyakan karyawan menerima gaji di sebuah rekening 'tabungan'. Pada kenyataannya, ketika buku tabungan dicetak setiap bulan, lebih banyak mutasi debit (penarikan dana) ketimbang mutasi kredit (penyimpanan dana).
32% punya gaya hidup tinggi
Hidup di kota besar godaannya memang lebih tinggi dibanding kota-kota yang lebih kecil. Sehingga tuntutan untuk mengikuti lifestyle cenderung lebih tinggi.
18% hobi berhutang konsumtif (kartu kredit)
Banyak orang senang belanja dengan kartu kredit dan menjadikan tambahan limit sebagai tambahan penghasilan.
Kerena itu, buatlah rencana keuangan yang lebih realistis sejak sekarang. Ubah cara berpikir an cara pengelolaan keuangan Anda yang salah. Pilihlah aset aktif yang Anda inginkan dan paling menghasilkan. Dan, Wina menambahkan, semakin banyak yang sadar dan melakukan hal ini, maka kita bisa menciptakan warga kelas menengah yang kuat dan mampu membawa perubahan bagi Indonesia, bukan lagi sekadar menjadi 'objek penderita'.
Shinta Kusuma, Tina Savitri