'Mencabut' akar nafsu
Sesi sangat menarik adalah membebaskan diri dari berbagai keinginan atau nafsu yang membelenggu kita. Semakin besar kita menginginkan sesuatu, semakin meyakinkan bahwa kita tidak memilikinya. Misalnya, ‘saya ingin kaya’, berarti kita belum kaya. Jika kita menghapus kata ‘ingin’, maka ‘saya kaya’. Itu berarti, kita perlu membebaskan diri dari keinginan yang membelenggu hidup. Kita harus mencabut ‘akar’ dari nafsu-nafsu kita.
Ada empat ‘akar’ utama yang perlu dicabut, yaitu: nafsu untuk mengendalikan, nafsu untuk dicintai/disukai, nafsu untuk diterima/disetujui, dan nafsu untuk selamat. Setiap orang memiliki keempat nafsu tersebut --biasanya salah satu ada yang dominan.
Kami diajak lagi untuk bermeditasi rasa guna ‘mencabut’ akar-akar nafsu tersebut. Ketika
meditasi berlangsung, terdengar suara isak tangis beberapa peserta. Hati saya juga mulai
tersentuh dan bergemuruh kencang saat proses ‘pencabutan’ nafsu ingin dicintai. Saya sadar, sikap dan tindakan saya terhadap beberapa orang masih dilumuri nafsu pribadi yang akhirnya membuat hati ini belum sepenuhnya ikhlas. Setelah ‘akar’ itu mulai tercabut, saya benar-benar merasa plong, ringan sekali.
Dan hebatnya, hanya dalam hitungan hari, saya sudah mengalami beberapa ‘pencerahan’.
Nama-nama yang dulu sempat saya doakan saat meditasi, seperti terkena ‘setrum’. Seorang teman yang tadinya selalu bersikap ‘dingin’, mendadak menyapa saya dengan ramah. Konflik dengan ayah saya mulai mereda karena sudah terbuka dialog. Hubungan dengan pasangan pun lebih harmonis, karena di hati saya tak ada lagi prasangka buruk. Saya pun tidak lagi memusingkan reaksi orang lain ketika saya ingin melakukan sesuatu. Sebaliknya, saya lebih fokus untuk menjaga kebersihan hati dan niat agar bisa berdamai dengan siapa pun. Ternyata kekuatan perasaan memang dahsyat, lebih dari yang pernah saya bayangkan!
Memang sulit mengurai perasaan dengan kata-kata, karena perasaan sejatinya memang untuk dirasakan. Melalui pelatihan ini, saya bisa merasakan kembali perasaan saya, perasaan orang lain, dan mendapat ilmu berharga untuk mengelola perasaan-perasaan negatif menjadi lebih baik. Tinggal selanjutnya bagaimana kita melatih ‘otot’ ikhlas itu, agar bisa membantu menghadapicobaan hidup kita dan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Shinta Kusuma