Belajar toleransi
Memang tidak semua sekretaris ‘sehebat’ teman pertama saya di kantor itu. Sekretaris pertama saya tidak pandai membuat draft surat. Jadi, terpaksalah saya membuat surat-surat sendiri. Sekretaris hanya mengetik final draft. Dan, saya harus bersabar kalau sekretaris saya datang lebih siang dari saya, karena rumahnya memang jauh. Ditambah lagi, dia punya dua anak yang masih kecil. Masih untung dia mau mengerti, kalau pagi datang terlambat ia tak buru-buru pulang saat jam kantor usai. Menjadi atasan yang punya toleransi besar adalah salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari sekretaris. Karena, setelah dipikir-pikir, hal itu masih termasuk wajar-wajar saja.
Belajar menahan diri
Waktu terus berjalan, saya yang masih bertahan di kantor yang sama akhirnya dipindah-tugaskan ke bagian lain. Sekretaris lama tak bisa diajak ikut pindah ke bagian baru. Karenanya saya mendapat sekretaris lain. Untunglah sekretaris baru lebih cekatan, pandai membuat draft surat, fasih berbahasa Inggris, dan masih lajang.
Kesulitan lama dalam hal surat menyurat, dan keterlambatan datang di kantor tak lagi saya temui. Tapi, bukan berarti saya tak punya masalah dengan sekretaris ini. Masalah yang saya hadapi adalah sikap cuek-nya. Kalau tak ditagih, notulen rapat kerapkali tidak selesai pada waktu yang diharapkan. Akibatnya, atasan saya sering menegur saya. Terpaksalah saya bikin aturan main yang agak keras: 24 jam setelah rapat, notulen sudah harus di meja saya.
Bukan itu saja. Kecuekannya juga termasuk dalam penampilan sehari-hari. Saya tak menuntutnya menjadi Miss Matching yang harus berpakaian serasi setiap hari. Tapi kalau mengharapkan dia berpenampilan rapi layaknya orang kantoran tentu bukanlah harapan yang terlalu tinggi, bukan? Saya juga tidak mengharap dia pandai berdandan dan memakai parfum setiap hari, tapi setidaknya menginginkan dia tampil fresh dan bebas BB.
Saya sempat putus asa dengan dua hal itu. Tapi, mengatakan langsung kepadanya, sulit memilih kata-kata yang pantas. Bukan mentang-mentang saya atasannya, lalu saya bisa blak-blakan mengatakan hal yang (mungkin) bisa menyinggung. Tapi, karena lama-lama tak tahan juga, saya berkonsultasi kepada teman senior lain. Sarinya saya mendapat solusi. Di hari ulangtahunnya, saya hadiahkan sebuah make-up kit. Di dalamnya saya sertakan sisir, lipstik, dan deodoran! Taktik ini cukup membuahkan hasil. Mungkin karena perubahan dalam penampilannya, setahun kemudian dia minta berhenti karena ia menemukan jodoh, dan diboyong suaminya pindah ke kota lain.
Sesudahnya, saya sempat lama tak mendapatkan sekretaris ideal. Karena kewalahan, saya harus puas dibantu seorang mahasiswa magang. Sekretaris temporer ini masih sangat belia, umurnya hanya setahun lebih tua dari anak sulung saya. Karena namanya juga mahasiswa yang sedang praktek kerja, kekurangannya tentu lebih banyak daripada kelebihannya. Kalau dia membuat kesalahan, saya hanya bisa mengelus dada. Marah? Mana tega! Saya langsung terbayang seandainya anak saya harus kerja praktek di kantor orang. Pastilah sama ‘hijau’nya dengan mahasiswa ini.
(bersambung)