Sekolah untuk anak tak mampu
Irina Amongpraja (Ina, 54), awalnya tak berencana untuk mengurus pendidikan bagi anak-anak tak mampu. Tahun 2000, ia diajak temannya berkunjung ke pos transito (penampungan calon transmigran) di Jakarta Timur. Ina dan seorang temannya mengajak anak-anak keluarga calon transmigran untuk belajar bersama. 'Murid-muridnya' semakin bertambah karena anak-anak tak mampu yang tinggal di sekitar pos itu juga ingin belajar.
Ketika anak-anak calon transmigran direlokasi, Ina tak boleh lagi menggunakan pos transito untuk tempat belajar-mengajar. Setelah beberapa kali pindah tempat, Ina menemukan sebuah lokasi di Bintara, Jakarta Timur yang tadinya merupakan tempat pembuangan sampah. Ia menyewa tanah itu, dan secara bertahap bangunan Sekolah Kami—kelompok belajar untuk anak pemulung dan kaum dhuafa— berdiri.
Sekitar 100 anak usia 5-15 tahun yang belajar di Sekolah Kami. Pelajaran yang paling ditekankan adalah perilaku dan baca tulis, selain keterampilan, antara lain membuat kompos dan sabun cair. Harapan Ina, anak-anak itu bisa memperoleh penghasilan dengan keterampilan mereka. Tentu saja perlu dana untuk kegiatan ini, tapi Ina tak mau menunggu sampai 'modalnya' cukup.
“Prinsip saya, apa yang bisa dikerjakan, ya dikerjakan dulu. Awalnya, uang saya hanya cukup untuk menyewa tanah. Saya yakin bila kita bekerja optimal dengan niat lurus, Tuhan akan memberi kemudahan. Buktinya, saya tak pernah membuat proposal permintaan bantuan, tapi ada saja teman-teman yang membantu. Dana awal yang saya terima terus berputar. Selain uang, ada pula yang menyumbang susu atau angklung,” tutur Ina.
Sekolah Kami terbuka bagi siapa saja yang ingin membantu, apa pun bentuknya. Lady (48), salah satu teman Ina yang ikut menyumbangkan makanan bergizi, merasakan kenikmatan dalam berbagi pada sesama. “Setelah aktif di sini, saya merasa lebih tenang. Menghadapi masalah apa pun, saya tidak panik dan 'menjalani' saja.”
Komentar Ina senada. “Karena sudah bisa membaca dan berhitung, anak-anak bisa menghitung total kilogram hasil pulungan orang tuanya. Dengan begitu, mereka tak lagi dibohongi oleh bos pemulung. Bagi saya, ini suatu kenikmatan. Daripada cuma ngomel pada pemerintah karena keadaan yang tak berubah, lebih baik kita turun tangan dan berbuat sesuatu bukan?”