Beri waktu
Laila berusaha bertahan. Suaminya, yang telah lebih dahulu memutuskan untuk bekerja di rumah sebagai konsultan lepas di bidang pajak, bercerita, dulu pun dia mengalami fase itu. Ia juga mengalami rasa tak berdaya, gelisah, dan takut. Boleh jadi itu fase tidak terelakkan dari perubahan hidup yang besar. Nyatanya, rasa itu tidak akan berlangsung selamanya. “Berilah dirimu waktu,” kata sang suami.
Tidak sedikit wanita seperti Laila, yang secara sengaja atau tidak sengaja melepaskan diri
dari pekerjaan tetap, lalu ‘melompat’ ke bidang lain. Dan boleh dikata, perpindahan ini tidak pernah mulus. Selalu ada rasa tak berdaya, cemas, dan tersisihkan. Ambil contoh Rina, yang terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Marketing Manager di suatu perusahaan swasta, karena harus merawat suaminya yang terkena stroke. Memang ia tidak menganggur di rumah, memang ia sangat dibutuhkan, tapi bulan-bulan pertama ia ‘dirumahkan’, ia merasa sangat sengsara. “Rasanya seperti bumi tempatku berpijak runtuh seketika,” begitu pengakuannya.
Kalau tadinya ia hampir tidak pernah absen dari kantor karena sakit, kini sebentar-sebentar Rina diserang flu atau sakit kepala. Di malam hari ia sulit tidur, dan kalaupun tertidur ia sering bermimpi buruk. Misalnya terlambat datang ke kantor untuk rapat penting, atau tidak sanggup mengatakan apapun ketika melakukan presentasi. Tak jarang pula Rina terbangun di tengah malam dengan pikiran gelisah. Antara lain memikirkan cadangan dana rumah tangganya yang semakin menipis.
Selain pendapatan dan ‘hiruk-pikuk’ pekerjaan sehari-hari di kantor, yang juga sangat dirindukan Rina adalah hubungan kekerabatannya dengan rekan-rekan dan anak buahnya di kantor. Maklum, selama bertahun-tahun ‘Mama Rina’ dianggap sebagai tempat ‘curhat’ 20 anak buahnya yang kebanyakan wanita. Kini, di rumah, ia merasa sangat kesepian dan sendirian.
Apa yang sesungguhnya yang terjadi pada Laila dan Rina? Mengapa wanita-wanita yang sudah matang dan kaya akan pengalaman ini sempat tercebur juga dalam ‘comberan kecemasan’?
Pamela Reeke, M.D. pakar stres dari Amerika Serikat, penulis buku Body for Life for Women, telah mengalami sendiri perasaan seperti itu, karena sudah dua kali mengalami pindah kerja. Semula ia bekerja sebagai spesialis trauma, lalu pindah negara bagian dan mempelajari nutrisi. Untuk membiayai kuliahnya dia terpaksa bekerja paruh waktu di sebuah pusat trauma. Lalu, setelah selesai kuliah dan menjadi dosen, dia mulai ‘gatal’ lagi untuk berganti pekerjaan. Kali itu dia bergabung dengan suatu badan yang meneliti kaitan antara stres dan kegemukan.
Menurut Reeke, kemelut hebat yang dialami seseorang ketika pindah kerja adalah sesuatu yang normal dan tidak dapat dihindari. “Asal saja kita tidak sampai terjeblos ke fase depresi, suatu zona stres yang membuat kita merasa tak berdaya, tak punya harapan lagi dan benar-benar kalah.”
(bersambung)