Sekolah lagi
Ketika Stephanie, putrinya, berusia 2 tahun, Rina mulai gelisah. Ia tak betah duduk berdiam diri di rumah saja. “Awalnya saya bingung. Antara mau mencari pekerjaan freelance yang sesuai dengan background pendidikan saya atau mau sekolah lagi. Yang jelas, saya ingin bekerja sambil merawat putri saya,” tutur ibu satu anak ini. Rina yang bertitel sarjana hukum itu merasa kesulitan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Apalagi, sistem hukum di Hong Kong menganut sistem Inggris, sementara Indonesia menganut sistem hukum Belanda.
Rina pun bersikap realistis. Ia akhirnya memilih mengambil kursus jangka pendek agar bisa segera bekerja. “Semula saya tertarik mempelajari pengobatan tradisional Cina. Tapi karena pelajarannya menggunakan bahasa Mandarin dan waktu studinya terlalu lama (7 tahun), saya nggak jadi. Umur saya saat itu 37 tahun, lalu kapan mulai kerjanya, dong?”
Sampai suatu hari, ia membaca informasi sekolah yangmenawarkan program intensif 6 bulan tentang holistic aromatherapy. Entah kenapa, ia langsung tertarik. meskipun suaminya tidak setuju karena masa depannya kurang meyakinkan. Namun Rina bersikeras. Setelah melakukan survei ke sekolahnya (Asia Pacific Holistic Aromatherapy) dan ngobrol dengan kepala sekolahnya, ia malah disuruh pulang dulu untuk mempelajari materi kuliahnya. Rina makin penasaran dan ia pun nekad mendaftar. “Karena tabungan saya waktu itu nggak cukup, saya pinjam sebagian dari suami. Tapi saya bilang ke dia, saya janji akan kembalikan.” Melihat kegigihannya, suami Rina memberi lampu hijau.
Di luar dugaan, belajar aromaterapi ternyata tidak semudah yang ia kira. “Bayangkan, saya harus belajar anatomi manusia, fisiologi, dan patologi. Belum lagi saya harus menghafal 50 macam nama minyak esensial berikut bahasa latin dan khasiatnya. Sampai-sampai saya harus menelan ginko biloba setiap hari agar lebih mudah menghafal,” ungkap Rina, tertawa.
Tugas skripsinya tak kalah berat. Selain skripsi berisi teori, Rina juga harus menyiapkan business plan untuk membuka sebuah klinik. Tujuannya, agar setelah lulus mereka bisa langsung membuka praktik di rumah. Syukurlah, akhirnya Rina lulus juga, bahkan lebih cepat daripada teman-teman sekelasnya!
Rina pun bersikap realistis. Ia akhirnya memilih mengambil kursus jangka pendek agar bisa segera bekerja. “Semula saya tertarik mempelajari pengobatan tradisional Cina. Tapi karena pelajarannya menggunakan bahasa Mandarin dan waktu studinya terlalu lama (7 tahun), saya nggak jadi. Umur saya saat itu 37 tahun, lalu kapan mulai kerjanya, dong?”
Sampai suatu hari, ia membaca informasi sekolah yangmenawarkan program intensif 6 bulan tentang holistic aromatherapy. Entah kenapa, ia langsung tertarik. meskipun suaminya tidak setuju karena masa depannya kurang meyakinkan. Namun Rina bersikeras. Setelah melakukan survei ke sekolahnya (Asia Pacific Holistic Aromatherapy) dan ngobrol dengan kepala sekolahnya, ia malah disuruh pulang dulu untuk mempelajari materi kuliahnya. Rina makin penasaran dan ia pun nekad mendaftar. “Karena tabungan saya waktu itu nggak cukup, saya pinjam sebagian dari suami. Tapi saya bilang ke dia, saya janji akan kembalikan.” Melihat kegigihannya, suami Rina memberi lampu hijau.
Di luar dugaan, belajar aromaterapi ternyata tidak semudah yang ia kira. “Bayangkan, saya harus belajar anatomi manusia, fisiologi, dan patologi. Belum lagi saya harus menghafal 50 macam nama minyak esensial berikut bahasa latin dan khasiatnya. Sampai-sampai saya harus menelan ginko biloba setiap hari agar lebih mudah menghafal,” ungkap Rina, tertawa.
Tugas skripsinya tak kalah berat. Selain skripsi berisi teori, Rina juga harus menyiapkan business plan untuk membuka sebuah klinik. Tujuannya, agar setelah lulus mereka bisa langsung membuka praktik di rumah. Syukurlah, akhirnya Rina lulus juga, bahkan lebih cepat daripada teman-teman sekelasnya!
(bersambung)
Shinta Kusuma