

“Semakin lama usia perkawinan Anda, maka Anda akan semakin bahagia.” Begitu kata Maggie Scarf, penulis buku September Songs yang mewawancarai pasangan berumur 50—75 tahun untuk bahan buku tersebut. Menurut Maggie, pada fase kehidupan ini, suami-istri tidak lagi tertekan soal karier atau anak. Mereka pun punya waktu lebih banyak untuk mengencangkan lagi ikatan suami-istri.
Tentu saja, kondisi ini tidak bisa dicapai begitu saja. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pertambahan usia berbanding lurus dengan kebahagiaan perkawinan.
Tiga fase
Roslina Verauli M.Psi, psikolog yang akrab dipanggil Vera, menyatakan ada tiga fase umum dalam perkawinan: masa fall in love, fall out of love, dan akhirnya fall back in love. Jika ketiga siklus ini berhasil dilewati dengan selamat, maka buah manis boleh Anda petik.
Biasanya masalah mulai bermunculan di masa kedua. Disebut masa fall out of love, bukan selalu berarti ada masalah besar yang terjadi. Namun, bisa jadi perasaan Anda pada suami menjadi hambar atau 'begitu-begitu' saja. Pasalnya, Anda telah terbiasa disibukkan oleh berbagai peristiwa dan tantangan hidup –seperti karier, tuntutan sosial, mengurus anak dan rumah tangga-- yang akhirnya membuat Anda merasa 'jauh' dari pasangan. Jangankan memikirkan suami, mengurus diri sendiri saja kadang tak sempat.
Hubungan dengan pasangan yang berjalan hambar akan mengakibatkan kebutuhan emosional tidak terpenuhi secara total. Akibatnya, Anda jadi cranky, mudah marah dan frustrasi. Ini tidak hanya akan berpengaruh pada Anda, tapi juga bagi seluruh anggota keluarga. Soalnya, wanita adalah sumber emosi di rumah. Jika ibu happy, yang lain akan terimbas. Sebaliknya, bila ibu uring-uringan, yang lain ikut 'gerah'. Padahal, jika hubungan dengan suami berjalan baik, energi Anda ibaratnya akan terus di-recharge.
Fase kedua ini bisa berlarut-larut dan berlangsung bertahun-tahun. “Ada pasangan yang 'mentok' di fase ini. Sebagian lagi bahkan mengevaluasi kembali hubungan mereka setelah usia cukup lanjut dan akhirnya memutuskan untuk menyudahinya. Ada pula yang memutuskan untuk mempertahankan perkawinan hanya demi anak-anak atau nama baik keluarga. Bukan demi mereka berdua,” urai Vera.