Tiga hukum waris
Di Indonesia sekurangnya terdapat 3 hukum waris: hukum waris adat yang mengacu kepada kebiasaan adat, misalnya di Padang atau Batak; hukum waris Islam yang ditetapkan dan dikuatkan oleh Pengadilan Agama Islam; hukum waris perdata, yang dipakai oleh orang non-Islam atau yang tidak mau warisan itu dibagi menurut hukum Islam atau adat.
Masing-masing hukum waris ini mempunyai aturan yang berbeda, begitu pula tingkat kesulitannya. Tak heran, selain persepsi ‘tabu’ tadi, banyak orang enggan membicarakannya karena dianggap terlalu rumit. Dan, hal ini tidak sepenuhnya salah.
Sebagai contoh, bagaimana cara menghitung harta bergerak maupun tak bergerak, harta pribadi maupun gono-gini? Bagaimana kalau pewaris punya anak yang agamanya berbeda atau anak di luar nikah? Bagaimana kalau pewaris punya bisnis online atau rekening khusus yang password-nya hanya ia yang tahu? Siapa yang akan ditunjuk sebagai wali asuh anak yang masih di bawah umur? Bagi orang biasa, mencari jawaban atas salah satu pertanyaan ini saja bisa pusing.
Tapi, kerumitan ini sebagian besar bisa diatasi dengan bantuan seorang perencana keuangan bersertifikat yang memahami tatacara pembagian waris. Ada perencana keuangan yang memahami ketiga hukum waris, ada pula yang memahami salah satunya saja, misalnya secara Islam.
“Perencana keuangan pun biasanya akan berkoordinasi dengan konsultan hukum dan notaris, untuk menangani aspek hukum pembagian waris,” jelas Aidil, yang juga direktur Pavillion Capital, Asset and Wealth Management. Bantuan yang diberikan perencana keuangan umumnya mengenai strategi untuk melindungi harta waris agar jatuh kepada ahli waris yang berhak, bisa dibagi secara adil, serta dapat dikelola dengan baik.
(bersambung)