jalan, banyak anak yang menderita penyakit gondongan dan TBC.
”Mula-mula saya harus mengobservasi dulu kondisi keluarga mereka. Tujuan saya adalah mengurangi waktu mereka di jalan, antara lain dengan membuka tenda belajar. Awalnya mereka perlu diiming-imingi agar mau datang, misalnya dengan makanan. Lama-lama mereka tertarik dan datang sendiri ke tenda kami tanpa iming-iming apa pun,” jelas Wahyu yang mengaku butuh waktu 3 tahun untuk bisa diterima di kawasan tersebut.
Sekalipun misinya murni menolong, kehadiran para relawan ini kadang tidak langsung diterima dengan baik. Herna, misalnya, sempat mendapat perlakuan sinis dari warga Desa Cijeruk, Bogor, tempat ia mendirikan sekolah untuk warga tak mampu di desa itu. ”Boro-boro menyapa, mereka tersenyum pun tidak. Saya bahkan dianggap punya misi tertentu,” ujarnya. Meskipun sasarannya adalah anak-anak, Herna mengakui bahwa langkah terpenting dan terberat adalahmendekati dan menanamkan pemahaman kepada para orang tuanya. “Selama ini mereka tidak peduli dengan apa yang dilakukan anak-anak mereka di sekolah. Tapi kini pelan-pelan mereka mulai mengerti dan bahkan mau ikut belajar baca-tulis,” ungkap Herna.
Tantangan serupa juga dialami Wahyu ketika pertama kali membuka tenda belajar untuk anak jalanan. Ada beberapa anak yang diseret pulang oleh orang tuanya. “Mereka lebih suka anak-anak itu mencari uang dengan mengamen atau memulung seperti mereka. Padahal anak-anak itu punya masa depan dan seharusnya diberi kesempatan untuk hidup lebih baik.”