.jpg)
Siapa, sih, wanita yang tak ingin selalu terlihat cantik, langsing, dan awet muda sepanjang usia? Tapi ini yang terjadi bila kita tak pernah puas melakukan ‘koreksi’ di sana-sini.
“Siapa yang tidak bersorak senang saat mengetahui bahwa lingkar pinggul dan perut saya menyusut secara instan. Bayangkan, hanya dengan berbaring selama 30 menit di treatment bed, lemak bagian perut saya langsung luruh. Tanpa perlu mengurangi porsi makanan atau berkeringat di treadmill, gaun hitam yang sudah lama tergantung di lemari bisa kembali saya kenakan dengan nyaman dan indah di tubuh.”
Deretan kalimat di atas bukan iklan, melainkan testimoni yang diucapkan seorang pelanggan klinik kecantikan. Ini adalah impian banyak wanita—bisa melangsingkan tubuh hanya dalam hitungan menit, tanpa perlu kelaparan dan capek-capek berolahraga.
Tak heran kalau wanita itu—yang memiliki kulit mulus dan tubuh ramping singset—tetap rajin berkunjung ke klinik kecantikan. Tak jarang pula ia mampir sejenak ke klinik langganannya sebelum bergabung dengan teman-teman arisan, hanya untuk memastikan bahwa penampilannya masih terlihat ‘sempurna’, sehingga memancing pujian dari teman-teman.
Bagi sebagian orang, melakukan perawatan kulit dan tubuh secara ekstra adalah lumrah, bahkan menjadi kebutuhan utama. Padahal, kondisi kulit dan tubuh mereka sudah terhitung sempurna dibandingkan rata-rata wanita pada umumnya. Tetapi, masih saja mereka ingin tampil lebih sempurna.
[Baca juga cara cantik dengan 4 blush on berbeda]
Menurut psikolog Roslina Verauli (Vera) yang kerap mengamati gaya hidup masyarakat perkotaan, salah satu pemicu ketidakpuasan seseorang terhadap penampilan biasanya berasal dari pengalaman trauma di masa lalu. Misalnya, karena sering di-bully semasa kecil, kalah bersaing dalam penampilan di dunia kerja, hingga tidak diterima dalam kelompok populer dalam pergaulan. Dan ketika orang tersebut mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki penampilan, maka ia akan melakukan sesempurna mungkin untuk ‘membayar’ ketidakpuasan selama ini.
Vera juga menambahkan satu lagi gangguan psikologis yang sering dijumpai, yaitu Body Dysmorphic Disorder, kecacatan yang tidak nyata pada penampilan fisik dan hanya dibayangkan atau dilebih-lebihkan. Tak bisa dibantah, penampilan sempurna yang nyaris tanpa cela masih menjadi faktor penentu agar diterima di lingkungan sosial tertentu. Atau, untuk bisa menembus profesi tertentu yang mensyaratkan kesempurnaan fisik.
Tak heran bila klinik-klinik kecantikan tumbuh subur untuk ‘mereparasi’ penampilan fisik lewat berbagai operasi plastik. Tentunya dengan biaya yang tak sedikit. Namun celakanya, bila hanya kuat secara finansial tapi ‘tak kuat iman’, keinginan untuk tampil lebih cantik dan lebih cantik lagi bisa berbuntut pada kecanduan berbahaya.
Korea tampaknya merupakan contoh yang pas terkait kecenderungan masyarakat yang tergila-gila pada kesempurnaan fisik, yang diupayakan lewat operasi plastik. Mereka—wanita dan pria— beramai-ramai mengoperasi hidung Asia mereka menjadi hidung Eropa yang mancung-tegak-runcing. Mereka juga mengoperasi mata (agar terlihat lebih lebar dan memiliki kelopak), rahang (agar berbentuk V), bibir (agar lebih penuh dan seksi), hingga membuat kulit selicin porselen. Bahkan sudah menjadi tren bagi para orang tua di sana untuk memberi hadiah berupa operasi plastik untuk membenahi hidung bagi anak-anak mereka saat memasuki usia 17 tahun!