
Sebuah artikel di situs qz.com menyebutkan, jika Anda telah melewati 30% dari hidup Anda, kemungkinan besar Anda telah menjalani 90% hubungan terbaik yang pernah Anda alami. Sang penulis memakai 90 tahun sebagai usia rata-rata manusia. Ini berarti, bila Anda sudah berusia di atas 30 tahun dan belum menemukan jodoh, jangan-jangan Anda dipersilakan gigit jari.
Bicara soal jodoh, atau secara umum masalah cinta, memang tak pernah terasa basi. Topik ini sering jadi bahasan di antara teman-teman perempuan (dan juga laki-laki). Meme yang sering kita share di media sosial pun tak jauh-jauh dari romantika percintaan.
Aturan pertama mencari pasangan hidup, pastikan ia hidup. Itu meme yang baru-baru ini saya dapatkan. Kesannya menyeramkan (atau justru ngenes, sih) karena ada kemungkinan mendapatkan pasangan yang tidak hidup. Namun sebenarnya makna meme ini sederhana saja. Dalam mencari pasangan, Anda tidak perlu susah-susah hingga harus menggali kuburan. Berpasanganlah dengan manusia yang masih bernapas—yang harusnya bisa kita temukan setiap hari.
Setelah menamatkan pendidikan lalu bekerja, hal berikutnya yang ada dalam daftar pencapaian hidup (umumnya) adalah menemukan belahan jiwa, lalu menikah. Kita membacanya di buku percintaan, menontonnya di film romantis, dan melihat contoh nyata pada orang-orang sekitar. Jika dipikir-pikir, punya seseorang untuk selalu berbagi itu menyenangkan, dong. Ia juga diwajibkan oleh hukum untuk berjibaku bersama Anda di tempat tidur. Talk about a plus!
Pertanyaannya, bagaimana jika jodoh belum juga ditemukan, padahal usia sudah melewati jumlah seluruh jari di tangan dan kaki Anda, dikali dua pula. Apa benar ada expiration date untuk menemukan jodoh?
Lalu, masa si single di usia matang tak bisa berharap lagi? “Coba saya tanya, mengapa kamu belum menikah?” Begitu tantang psikolog Roslina Verauli kepada saya. Jawaban saya sederhana saja: Saya belum menemukan pasangan yang pas. Saya pernah memberikan jawaban yang serius, jawaban sambil lalu, atau (andalan saya) bercanda. Walau berprofesi sebagai penulis, lama-lama kreativitas saya dalam menghasilkan jawaban yang orisinal tentunya mengendur.
Atas nama seluruh perempuan lajang (berapa pun usia mereka), saya menjawab, Ya kami ingin menikah. Dengan siapa dan kapan, jika Anda punya jawabannya, please let us know. Perempuan lajang terlalu mandiri sehingga laki-laki takut mendekati? Pernyataan yang kurang relevan. Semua orang tentu harus mandiri, laki-laki dan perempuan, menikah atau tidak.
Status lajang bukan penyakit memalukan sehingga tidak perlu ditutup-tutupi. Bahkan Roslina menyatakan, ada definisi baru dalam memandang status lajang. Perempuan yang menyandang status ini tidak lagi dipandang sebagai orang yang tidak laku, perawan tua, atau orang dengan kepribadian ajaib. “Ini adalah pilihan, bukan takdir,” ujarnya.
Jodoh bisa bertemu di mana saja. Kalimat itu adalah jargon yang sering saya katakan kepada teman-teman. Masalahnya, hingga kini, walau saya sudah pergi ke mana-mana, jodoh yang tadi dibicarakan itu belum saya temukan. Apakah saya akan menemukannya di ujung dunia atau jangan-jangan hanya di ujung jalan, itu yang masih harus terus saya cari. Kendati demikian, hidup terus berjalan dan tagihan masih tetap harus dibayar.
Jadi, santai saja walau tak punya pacar....