“Maaf lahir batin, ya….” Setiap tahun kalimat ini selalu terucap. Di kantor, di acara halal bihalal, atau di acara kongkow bersama teman sehabis Lebaran. Sampai sebulan berikutnya, kalimat itu masih terucap.
Jujur, apakah kita sungguh-sungguh telah memaafkan—termasuk orang yang tidak pernah meminta maaf pada kita? Apakah kita telah sungguh-sungguh melepaskan kemarahan kita pada orang yang melukai hati kita?
Banyak orang mengartikan apa itu memaafkan. Ada yang mengatakan, memaafkan adalah awal dari kehidupan yang lebih baik. Ada yang mengatakan, memaafkan adalah proses pembebasan diri kita dari seorang korban menjadi seorang pemenang.
Kata Oprah Winfrey, “Maafkanlah, supaya kamu betul-betul hidup. Memaafkan yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa berkata, ‘terima kasih untuk pengalaman itu.'”
Sebegitu banyak definisi memaafkan yang saya temukan, kalimat Oprah bagi saya paling bisa saya terima. Mengapa? Karena kisah hidupnya yang pahit, dan memaafkan bukan perkara mudah dalam konteks hidup Oprah. Lahir dari seorang ibu remaja, Oprah kecil dirawat oleh neneknya. Gadis cilik cerdas ini tumbuh dengan baik di lingkungan gereja, dan dididik oleh neneknya karena ibunya pergi mencari pekerjaan. Di usia enam tahun, ia diambil oleh ibunya yang menjadi seorang ART.
Malang nasibnya, sejak usia 9 hingga 13 tahun ia dicabuli beberapa pria hingga melahirkan di usia 14 tahun. Sulit saya bayangkan. Kalau saya yang mengalami itu, mungkin saya sudah mendarat di rumah sakit jiwa.
Tapi Oprah memaafkan masa lalunya: Ibu yang meninggalkan dirinya dan orang-orang yang melecehkannya. Sekarang, semua orang tahu siapa Oprah Winfrey. Ia adalah sang pemenang.
Memaafkan = pembebasan emosi
Saya percaya ini. Ketika saya marah pada seseorang, tiba-tiba saja saya merasa perilaku saya ditentukan oleh orang tersebut. Ketika seseorang mendamprat saya, emosi saya terbelenggu oleh kata-kata kasar orang itu.
Kemarahan mengendap dalam, sedalam hati saya. Untuk beberapa saat saya masih mencari cara bagaimana membalas sakit hati saya, tapi beberapa saat kemudian bagian lain otak saya mengambil alih. Bagian otak saya yang mengatur empati membuat saya mencoba berada pada posisi orang itu, berusaha memahaminya, kemudian saya memaafkan. Emosi saya bebas, saya pun kembali hidup dengan tenang.
Pengalaman ini memberi pemahaman pada saya, sebetulnya memaafkan itu tidak sulit, tapi mengapa kita senang memelihara kemarahan? Mengapa kita memilih bertahan menjadi korban, alih-alih menjadi pemenang?
Memaafkan tidak akan mengubah masa lalu kita, tetapi akan memperluas masa depan kita. Bagaimana nasib Oprah bila ia menangisi nasibnya terus-menerus? Akankah ia menjadi bintang seterang sekarang? “Kita sering mengira dengan tidak memaafkan, kita terlindungi. Kenyataannya tidak. Menyimpan marah dan dendam akan meracuni tubuh,” kata Oprah.
Orang yang membuat kita marah sudah melanjutkan hidupnya—mungkin ia sukses, sementara kita stuck dalam kemarahan dan rasa sakit kita. Kemarahan menjadi kanker bagi jiwa kita. Terlalu banyak energi kita keluarkan untuk memelihara kemarahan dan sakit hati. Memaafkan kesalahan orang bukan sesuatu yang kita lakukan untuk orang itu. Kita memaafkan supaya kita menjadi lebih baik, sehingga bebas dari rasa sakit.