
Manusia tidak pernah berubah. Kita bisa menjadi lebih matang namun dengan esensi diri yang masih sama seperti dulu. Usia pasti bertambah, namun kita tetaplah kita perempuan.
“The CIA should hire as spies only woman over fifty, because we are truly invisible.”
Sepenggal puisi Marge Piercy dalam I Met a Woman Who Wasn’t There ini seakan ingin menggambarkan perasaan yang dialami perempuan baya: Transisi dari ‘menjadi pusat perhatian’ ke ‘seseorang yang tidak terlihat (diabaikan).’ Memang, dalam budaya yang mengartikan kecantikan, unsur feminin, dan keseksian hanya milik orang muda, perempuan baya—tak peduli betapa sehatnya ia, terawatt dengan baik dan memiliki perilaku yang manis—bisa terlewat dari perhatian. Tiba-tiba ia menjadi anonim, bukan siapa-siapa.
Kata pria, perempuan itu penuh misteri. Memendam perasaan dan tidak mengungkapkan pikiran, asyik berkutat dengan perasaannya sendiri. Teddy Soeriaatmadja, sutradara dan penulis skenario film "About a Woman," mencoba menampilkan kompleksnya seorang perempuan. Ia memilih perempuan berusia 65 tahun sebagai tokoh yang karakternya ingin ia jelajahi. Bagaimana tokoh Oma atau Ibu yang hidup sendiri—suami meninggal, anak satu-satunya telah berumah tangga—ini mengatasi rasa sunyi.
Ada dua hal yang saya pelajari dari film itu. Pertama, saya seperti disadarkan bagaimana seharusnya kita memandang diri kita ketika kita berada pada usia itu. Yang kedua, ketika cahaya kian meredup, mampukah kita beradaptasi dengan berbagai perubahan, dan tetap menikmati hidup?
Vardo Muhlbauer dari Netanya Academic College, Israel, bersama Joan C. Chrisler dari Connecticut College, menulis buku berjudul Woman Over 50. Saya tidak mampu membaca tuntas buku yang tebalnya ratusan halaman itu hanya dalam waktu beberapa hari. Namun saya melihat benang merah antara film besutan Teddy dengan riset Muhlbauer dan Chrisler. Film dan buku itu bicara soal penerimaan diri perempuan usia lewat tengah baya.
Manusia adalah mahkluk sosial. Kebutuhan untuk selalu terhubung dengan orang lain merupakan kebutuhan dasar. Perempuan di usia lewat tengah baya yang sehat jasmani dan rohani tetap punya kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain. Sepandai-pandai ia mengurung diri dan bersikeras mengatasi kesepian, kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain tetap ada. Ketika suami masih ada, dia adalah orang yang membuat kita terhubung dengan realita dan orang lain. Ketika kita bekerja, lingkungan pekerjaan memaksa kita untuk terus terhubung dengan banyak orang.
Setelah lewat masa muda, perempuan tidak lantas berubah menjadi malaikat atau orang suci. Ia tidak perlu mengungkung diri dengan batasan-batasan yang ia buat sendiri. Tak ada alasan untuk mengurung diri dan menyangkal kebutuhannya akan orang lain untuk mewarnai hidupnya. Kita punya katup-katup untuk dibuka, untuk menjalin pertemanan kembali dengan orang-orang, bahkan dengan kekasih-kekasih di masa lalu.