Pada tahun 2000, Shinta dan Budi memiliki usaha minilab cuci cetak film di kawasan Bintaro. Studio kecil itu bernama Studio 55. Pada 2004, mereka membuka cabang di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di tanah seluas 1.000 meter persegi itu, Shinta dan Budi mengembangkan bisnis foto pernikahan. Bisnis tersebut perkembang pesat sehingga mereka bisa membeli tempat tersebut dan membuka lima cabang lainnya. Dua tahun setelah pindah tempat ke Raden Saleh, Shinta mulai berbisnis busana yang menunjang studio fotonya, yaitu busana pesta dan pengantin muslimah. Kursus make up di Martha Tilaar pun dijalaninya untuk mendukung bisnis tersebut. Namun seiring dengan perkembangan dunia digital, usaha cuci cetak foto pun menurun. Ia harus merelakan bisnis studio foto yang telah dirintisnya itu meredup.
Alur bisnis Shinta dan Budi berjalan seperti kata pepatah, pucuk dicinta ulam tiba. Ketika bisnis studio fotonya menurun, muncul peluang baru. Masa terpuruknya bisnis Shinta hampir bersamaan dengan munculnya Hijabers Community, yaitu komunitas yang didirikan oleh sekitar 30 muslimah dari berbagai latar belakang. Kegiatan mereka beragam, studi tentang Islam hingga membuat tutorial hijab style. Ada pula yang membuat busana muslimah dengan gaya orang muda.
“Saya pikir bagus juga jika bisa menggabungkan mereka dalam sebuah toko,” kata wanita kelahiran 1 Juni 1976 ini. Berawal dari lima tenant, Studio 55 di Jalan Raden Saleh pun disulap menjadi department store baju muslim Moshaict. “Saya pernah beberapa kali punya usaha, jadi tahu cara memasarkan,” ujar ibu empat anak ini. Modal Shinta mendirikan Moshaict cenderung tidak besar karena ia sudah memiliki tempat yang ia jadikan toko tersebut. Peralatan yang dibutuhkan sebuah butik seperti gantungan baju dan manekin juga telah ia miliki sebelumnya.
Untuk mengecek kondisi pasar, tiga bulan setelah Moshaict dibuka, Shinta memberanikan diri mengadakan sebuah bazaar busana muslimah selama dua hari di tokonya. Sehari sebelum bazaar Shinta sempat khawatir. Pasalnya, promosi event ini hanya dilakukan via media sosial, tidak ada bentuk promo konvensional seperti iklan di majalah atau flyer. Bagaimana jika tidak banyak orang yang datang? Bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kepada para tenant jika barang mereka tidak terjual? Itu kekhawatirannya. “Subhanallah, respons orang sangat luar biasa,” ujar wanita berkaca mata ini. Pengunjung Moshaict membludak. Pembelinya luar biasa banyak, bahkan ada yang datang dari luar kota, padahal pada hari pertama itu hujan turun sangat lebat. Ruangan Moshaict yang ber-AC pun terasa sumpek dan gerah karena banyaknya pengunjung. Ternyata banyak pembeli yang menginginkan gaya berhijab yang berbeda dari yang biasanya.
Bersamaan dengan bazaar tersebut, Shinta juga membuka kelas hijab tutorial. Tak disangka-sangka kelasnya pun selalu penuh hingga banyak yang tidak kebagian tempat. Sebuah peluang pun dilihat oleh Shinta. Kelas tersebut lalu ia transformasi menjadi buku tutorial. Hasilnya, 40 ribu eksemplar pun ludes dibeli. Ke depannya, Shinta berangan-angan mendirikan sebuah mall dengan konsep Islami. “Lagi-lagi saya lihat peluangnya karena Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbesar,” ujarnya.
Meski demikian, ia belum tahu apakah rencana ini bisa dia wujudkan. “Saat ini saya masih fokus mengembangkan Moshaict,” katanya tentang bisnisnya yang masih seumur jagung.
Nofi Triana Firman
Foto: dok. pribadi