
Desi Anwar, 52 tahun, presenter berita, penulis, dan fotografer. Desi Anwar bicara tentang pengalaman hidupnya sebagai jurnalis televisi.
Saya tidak menonton siaran wawancara saya
Mungkin ini salah satu kelemahan saya yang tidak mau berlama-lama memikirkan apa yang sudah saya ciptakan. Saya berkesempatan bertemu Dalai Lama dan menikmati proses wawancaranya. Setelah itu, saya tidak menonton atau mengevaluasi siaran. Saya merasa,"Ah ya sudahlah! Sudah menjadi milik orang lain, bukan milik saya lagi."
Start-up adalah pionir
Tiga kali saya ikut membangun pertelevisian dengan genre yang berbeda, mulai dari RCTI sebagai televisi swasta pertama, Metro TV sebagai televisi berita, sekarang CNN Indonesia sebagai televisi digital. Buat saya, ini semua adalah kesempatan untuk menjadi pionir dan membuat standar baru.
Kamera adalah bagian dari mata saya
Puluhan tahun bekerja di depan kamera, tidak pernah sedikit pun saya merasa kamera adalah benda asing.
Semua orang bisa memiliki televisinya sendiri
Dunia digital yang berkembang membuat semua orang bisa terlibat dalam citizen journalism. Bayangkan, dulu saya pernah memanggul kamera 15 kilogram, kini sebuah reportase bisa dilakukan dengan ponsel pintar yang masuk ke dalam saku.
Tanpa televisi, Indonesia tidak akan pernah mencapai reformasi
Media televisi adalah salah satu pilar yang bertanggung jawab moral untuk tidak mewakili kepentingan mana pun namun memberikan pencerahan dan edukasi. Sehingga, masyarakat paham dan dapat memberikan opini yang tepat. Tahun 1998, masyarakat belajar, melihat, dan menilai apa yang terjadi. Contoh nyatanya, saat itu, salah satu media yang ikut berperan menurunkan Soeharto justru RCTI yang salah satu pemiliknya adalah anak Soeharto.
Penting untuk menggunakan kaus kaki di dalam studio
Entah kenapa, saya selalu kedinginan di studio televisi.
Media sosial hanya memotret yang kekinian
Instagram atau Twitter saya gunakan untuk membagi inspirasi, tapi saya lebih suka membukukan ide-ide saya. Media sosial hanya fokus pada apa yang terjadi. Padahal, kita lebih membutuhkan mengapa dan bagaimana hal itu terjadi. Kita perlu semacam konteks -dalam hal ini, buku itu penting.
Sebenarnya, saya lebih suka menulis
Menulis itu membutuhkan keutuhan, pendalaman, perspektif, reflektif, dan permainan kata. Setelah saya selesai menulis satu buku, saya seperti melahirkan sesuatu.
Tulisan dan foto adalah oleh-oleh saya
Di tiap destinasi perjalanan, saya berburu foto atau inspirasi sebagai bahan tulisan bukan berburu suvenir atau mal, galeri seni, museum, dan tempat ibadah beberapa tujuan di tiap kota yang saya singgahi.
Siapa yang mau membaca Harry Potter dengan e-book?
Apalagi bila penggemar Harry Potter. Buat saya, buku masih mendapat tempat istimewa meski e-book kian berkembang. Untuk buku-buku tertentu, saya lebih suka membacanya langsung dan membuka halaman demi halaman kertas buku.
Idola saya judes
Diva Prancis, Catherine Denevue, idola saya sejak mahasiswa, ternyata tidak 'memberikan' sesuatu yang mendalam. Tidak banyak inspirasi yang saya dapatkan dari dirinya. Ia seperti tidak ingin diwawancara saat saya berhasil menemuinya. Padahal, sebagai bintang film, akting sajalah, seolah-olah tertarik diwawancara. Atau jika tidak ingin diwawancara, ya jangan memberikan wawancara. Sekarang kalau melihat ia di layar kaca atau di film, saya langsung berpikir,"Wah saya tahu orang ini seperti apa aslinya!"
Foto: Zaki Muhammad