
“Santai aja, Mbak. Senyum, dong….” Pengarah gaya Erin Metasari bolak-balik mengoreksi ekspresi wajah dan sikap tubuh Ira Koesno yang terlihat kurang relaks saat menjalani sesi pemotretan untuk cover PESONA edisi ini.
Ira pun tertawa, berusaha mengendurkan tubuhnya. “Ternyata susah, ya. Saya lebih gampang diminta pasang muka galak daripada disuruh santai, ha ha ha…,” katanya. Sudah dari sananya, bawaan lahir—begitu ia menjelaskan sikapnya yang tegas dan tak suka basa-basi.
Lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara—dua-duanya perempuan—sang ayah yang seorang dokter mendidik kedua putrinya dengan cukup keras agar menjadi wanita mandiri, tidak cengeng, dan berani meraih cita-cita setinggi-tingginya. “Waktu masih kecil dulu, justru saya yang lebih sering mem-bully kakak saya, sampai dia nangis dan ngadu ke ibu,” ceritanya, terbahak.
Ira Koesno memang tak suka dan tak pandai berbasa-basi. Tapi ia tetaplah wanita yang ramah dan senang ngobrol. Ia juga cukup terbuka tentang kehidupan pribadinya, namun mengaku malas menjawab pertanyaan yang dianggapnya sudah basi: “Kapan menikah?”
Lama menghilang dari peredaran, nama Ira Koesno tiba-tiba kembali dibicarakan setelah ia tampil sebagai moderator debat pertama (dari tiga debat) dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta, 13 Januari lalu. Ia juga kembali jadi moderator debat final Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, 12 April 2017.
Namanya pun kembali dibicarakan. Bukan hanya tentang keberhasilannya memandu debat, tapi—terutama—juga tentang penampilannya yang dianggap makin cantik dan awet muda di usia 47 tahun. Tak heran beredar pula spekulasi bahwa ia melakukan operasi plastik.
Menjadi moderator di ajang debat pemilihan pejabat negara memang bukan pengalaman pertama bagi Ira. Di tahun 2004, pada debat pertama Pemilihan Presiden RI, ia juga terpilih menjadi moderator.
“Itu adalah debat pilpres pertama yang pernah diselenggarakan di Indonesia, dan semua orang belum benar-benar memahami aturan mainnya, termasuk para pesertanya sendiri. Meskipun sudah habis waktunya, mereka tetap saja bicara, sehingga saya harus tegas memotongnya. Akibatnya, saya dikritik habis-habisan oleh berbagai pihak. Saya dibilang terlalu kaku, tidak lugas, bahkan dianggap kurang ajar,” kenang Ira.
Di akhir dekade 90-an hingga tahun 2006, nama Ira Koesno memang berkibar sebagai salah seorang news anchor (pembaca berita) papan atas Indonesia. Apalagi saat itu suhu politik kita tengah panas-panasnya menjelang jatuhnya Orde Baru dan berdirinya orde Reformasi. Kerap berduet dengan Arief Suditomo, keduanya sempat menjadi bintang di program berita Liputan 6 di stasiun SCTV.
“Padahal saya dan Arief sama-sama kaku dan jutek. Pokoknya, 11-12, deh,” kata Ira, tertawa. Meskipun sama-sama sudah meninggalkan dunia jurnalistik—Arief Suditomo kini menjadi anggota DPR—keduanya masih memelihara persahabatan.