
Selanjutnya, Wahyu menjadi tutor dan Kurie mengurus manajemen. Tempatnya pun masih numpang di kantor temannya, di bilangan Blok M Jakarta. Meski hanya diinformasikan lewat Facebook, untuk program pertama berhasil terkumpul sembilan anak, termasuk dua anak Kurie.
Tak disangka, anak-anak itu mengaku senang sekali, karena kini mereka juga bisa membuat game sendiri, meskipun masih sangat sederhana. “Sungguh mengejutkan bahwa anak-anak seusia itu ternyata bisa memahami sesuatu yang selama ini baru dipelajari di fakutlas,” katanya, takjub. Kurie pun makin bergairah. Yang mulanya hanya holiday program, ia lalu mengembangkannya menjadi sekolah Coding(Indonesia) dan diselenggarakan seminggu sekali, setiap Sabtu atau Minggu.
Dalam waktu tiga tahun, Coding(Indonesia) telah memiliki sekitar 200 murid tetap berusia 8-17 tahun. Bahkan ia punya beberapa murid dengan kebutuhan khusus (autis). Juga telah memiliki beberapa cabang di Jakarta, Depok, dan Bandung. “Sebenarnya banyak sekali yang meminta saya membuka cabang di berbagai tempat, tapi tenaga tutor yang saya miliki masih terbatas,” katanya. Itu belum termasuk workshop pro-bono bagi anak-anak yatim piatu, serta mengisi kegiatan ekstrakulikuler di sejumlah sekolah dasar.
Kurie masih punya mimpi besar. “Saya ingin coding dipelajari oleh sebanyak-banyaknya anak Indonesia, sama seperti belajar mengaji. Dengan mempelajari coding, anak-anak akan terlatih mengasah logika dan kemampuan memecahkan masalah. Dua hal ini masih agak terabaikan dalam kurikulum pendidikan formal di negeri kita,” kata mantan wartawan Tempo ini.
Foto: Dhanny Indrianto
Pengarah gaya: Erin Metasari