
Mengunjungi kembali Moskow dan Saint Petersburg membuat saya, Louisa Tuhatu, yakin bahwa Rusia benar-benar telah berubah. Setidaknya dibandingkan ketika saya tinggal di sana 20 tahun silam.
Akhirnya saya menginjak lagi tanah Rusia. Rasa rindu yang membuncah membuat dada saya agak sesak. Ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di sini, setelah saya pulang dari sana pada tahun 1997. Selama empat tahun saya sempat tinggal di Rusia, mendampingi ayahnya anak-anak yang ditugaskan sebagai diplomat di KBRI Moskow.
Untuk mengisi waktu, saya melanjutkan kuliah di All Russia Institute of Cinematography Jurusan Film di Moskow. Ke mana-mana saya selalu naik transportasi umum, terutama subway, dengan stasiun-stasiunnya yang sangat indah seperti galeri seni. Dan pada akhir pekan, saya sering melewatkan waktu di Saint Petersburg untuk menghirup aroma seninya yang kental.
Pada musim gugur tahun lalu, saya menengok kembali dua kota itu. Maret lalu, saya kembali datang untuk menikmati awal musim semi. Moskow dan St. Petersburg masih tetap indah dan artistik. Tetapi ternyata keduanya tidak sama lagi seperti yang saya kenal 20 tahun silam. Lalu lintas yang super padat di jalanan sekitar Kremlin, Lapangan Merah, dan Katedral Saint Basil menyambut kedatangan saya di Moskow.
Pemandangan ini benar-benar membuat saya terpana. Macetnya sama parah dengan Jakarta! Dulu, jalan-jalan di lingkaran pusat wisata di Moskow ini terlihat lengang. Mobil yang melintas tidak banyak, hampir semuanya buatan Rusia, seperti Lada yang seperti kotak sabun, dan Moskvich. Sesekali melintas mobil Volga hitam yang dinaiki para pejabat partai atau Politbiro.
Tapi kini, lihatlah yang terhampar di depan mata saya. Enam sedan Rolls Royce tampak berjejer, terparkir anggun di pinggir jalan, sementara Aston Martin, Ferrari, dan berbagai mobil mewah lain tampak berseliwean di jalan. Anak-anak muda berpakaian keren dan bermerek mahal tampak bercengkerama di trotoar sambil menenggak minuman kaleng bermerek impor dan merokok. Juga terlihat wanita-wanita matang dengan gaya berkelas, keluar-masuk butikbutik high-end yang kini bertebaran di pusat kota Moskow.
Bagai bumi dan langit jika dibandingkan 20 tahun silam. Meskipun saat itu gerakan Perestroika (reformasi) dan Glasnost (keterbukaan) yang digulirkan di awal tahun 80-an di masa pemerintahan Presiden Gorbachev sudah bergulir dan Uni Soviet sudah bubar, namun secara fisik masyarakatnya belum banyak berubah. Lama dikuasai rezim komunis, mereka masih hidup sederhana. Di kereta bawah tanah, kita akan melihat para wanita di sana mencangklong tas yang sama, tas kulit berwarna cokelat, yang dipasok oleh pemerintah. Pendek kata, semua hal mencerminkan ideologi komunis yang dianut negara—sama rata sama rasa.