Dulu yang dianggap warga kelas satu adalah para politisi, ilmuwan, atlet, seniman, guru, bahkan juga buruh. Pedagang merupakan warga kelas dua, karena dianggap kapitalis. Kini, keadaan justru terjungkirbalik. Para pedagang muncul sebagai kekuatan baru ekonomi Rusia. Mereka tumbuh sebagai masyarakat orang kaya baru (OKB) yang gemar bergaya hidup jor-joran.
Sebaliknya, mantan warga kelas satu makin tersingkir dari panggung. Setiap akhir pekan selalu ada kelompok kecil orang berkumpul di Lapangan Merah, berorasi di depan makam Vladimir Lenin, pendiri marxisme di Uni Soviet, untuk mengungkapkan kerinduan mereka tentang kejayaan masa lalu. Oh, ya, patung Lenin yang dulu bertebaran pun sekarang hanya tersisa satu, yaitu di October Square.
Dan saya jelas tidak berhak kecewa melihat perubahan itu. Saya meyakini bahwa kebebasan merupakan hak dasar manusia dan setiap manusia pasti mendambakan kehidupan yang lebih sejahtera. Untunglah, ada satu hal yang tidak pernah berubah pada masyarakat Rusia, yaitu kecintaan mereka yang besar terhadap seni. Pergi ke pertunjukan balet, konser musik klasik, pameran lukisan, teater, atau museum tetap menjadi jadwal tetap mereka—setidaknya
seminggu sekali.
Selain sebagai ibu kota negara, Moskow menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, budaya, dan sains di Rusia dan Eropa Timur. Selepas dari komunisme, Moskow menjadi kota termahal ke-9 di dunia (versi Forbes, 2015). Padahal, sebelum era Glasnost, Moskow termasuk kota berbiaya hidup murah. Saya dulu senang mengubekubek pasar loak dan bila beruntung bisa mendapatkan barang-barang vintage dengan harga sangat murah.
Moskow dan Saint Petersburg terpisah jarak 650 km atau 4 jam perjalanan dengan kereta cepat. Meski merupakan kota kedua terbesar di Rusia, sesungguhnya St. Petersburg berusia lebih tua daripada Moskow, karena dulunya merupakan pusat Kekaisaran (Tsar) Rusia. Di tahun 1914, nama St. Petersburg sempat berubah menjadi Petrograd, lalu menjadi Leningrad (1924), dan pada 1991 kembali menjadi Saint Petersburg.
Namun bila disuruh memilih kota mana yang lebih saya sukai, saya sulit memutuskannya. Di Moskow ada Katedral Saint Basil yang dibangun pada abad ke-14. Kubah warna-warninya yang seperti permen loli selalu berhasil membuat hati saya riang. Saya juga selalu merindukan interior stasiun metro Arbatskaya yang sepanjang lorongnya dihiasi chandelier antik.
Di St. Petersburg, saya selalu senang memandangi gereja-gerejanya—yang sebagian besar merupakan gereja Katolik Ortodoks. Memandangi kanal-kanal indahnya yang bermuara di Laut Baltik juga menyenangkan. Ketika mampir ke kota ini musim semi lalu, saya menyempatkan menonton pertunjukan balet di Mariinsky Theater. Pokoknya, saya ingin melepaskan seluruh kerinduan saya selama ini.
Seperti diceritakan kembali pada Tina Savitri