
Suara alunan piano terdengar diikuti suara bariton Ryan Gosling, “City of stars, are you shining just for me? City of stars, there’s so much that I can’t see….”
Lagu itu membawa ruang imajinasi saya ke sebuah malam dengan ratusan bintang, ditemani nyanyian angin. Angin yang menggelitik di atas kulit saya memang benar ada. Daun-daun pakis ikut bergesek mengikuti gerak angin, bersahutan dengan suara aliran air, begitu tenang.
Saya membuka mata, menikmati pemandangan hijau di sekeliling. Ada tanaman merambat morning glory yang membuat teduh area kolam renang di depan saya. Ketika berbalik, ada bukit yang terlihat cantik dengan rimbunnya tanaman trembesi. Lagu City of Stars makin sayup-sayup terdengar—tak lama, musik dimatikan sang pemilik rumah, arsitek Andra Matin.
Saya berdiri di samping Andra, menikmati suasana. Ada tumpukan koran serta vinyl player. Ada meja kayu jati yang dapat menampung sekitar 10 orang, dan menyatu dengan kompor di depan saya. Area tersebut tempat Aang, begitu Andra Matin disapa, melakukan aktivitasnya. Living room, area makan, dapur, kolam renang—semua dibuatnya tanpa batas.
Setiap Selasa, orang-orang datang untuk melakukan pijat refleksi. Bukan, Aang tidak buka praktik pijat—sang tukang pijat awalnya untuk mendukung sang istri, Retno Audite Matin (Dite), melalui masa pemulihan dari kanker payudara. Namun lama-lama, sang tukang pijat nyaman ‘membuka’ praktiknya. “Bisa sampai tengah malam, kemudian saya berkenalan dengan pasien-pasien barunya,” cerita Aang seru.
Nyaman, tenang, dan segar. Ke mana pun arah mata saya di rumah ini, hal yang sama saya rasakan. Rumah ini punya tempat tersendiri di hati Aang.