
Sembilan tahun silam, setelah beberapa kali pindah kontrakan di area yang sama di Bintaro, Jakarta Selatan, akhirnya ia mulai menyicil membeli tanah di area yang sama. “Selama menyicil itu pula saya membangun rumah ini, total lima tahun dari 2008 hingga 2013,” kenangnya.
Keinginannya sederhana saja—ia ingin memiliki rumah yang kuat, tahan lama, dan low maintenance. Memang sederhana kedengarannya, namun pada saat itu tidak mudah merealisasikannya. Aang menggunakan beton exposed agar dinding tak perlu dicat. Namun, belum ada tukang yang dapat mengerjakannya dengan baik dan rapi.
Masalah lain muncul ketika ia memilih kayu ulin untuk dasar lantai dan beberapa interior lain. Penggunaan kayu ulin saat itu dilarang, sehingga ia perlu mencari kayu ulin bekas. Karena jumlah yang ia perlukan banyak, Aang membelinya sedikit demi sedikit. “Itu juga disesuaikan dengan dana, apakah tersedia atau tidak. Atau, melihat kondisi apakah kayu bekasnya sudah ada atau belum.”
Ketika membangun pun, ia tidak membuat gambar layaknya pekerjaannya seorang arsitek. Secara perlahan, hanya dengan lima pekerja, ia langsung mengeksekusi apa yang ada di benaknya. “Pada saat itu banyak hal yang jadinya tidak sesuai dengan apa yang dia jelaskan kepada saya,” cerita Dite, tertawa.
Desain rumah ini terinspirasi bangunan-bangunan di Indonesia seperti pendopo di Jawa, atau bale bengong di Bali. Namun, karena zaman terus berubah, Aang mengemasnya secara modern. Roh-roh pada bangunan khas Indonesia ia sampaikan secara tersirat. Contohnya, tembok yang tidak halus, layaknya rumah tradisional yang tidak berdinding kinclong.
Dalam membangun rumah impiannya, Aang ingin membuat ruangan-ruangan yang fungsional. Area perpustakaan, misalnya, ia letakkan di lantai bawah karena ketika membaca tidak perlu melihat pemandangan. Living room dibuat terbuka, karena berkumpul akan semakin nyaman sambil menikmati pemandangan sekitar. Begitu juga dengan ruang-ruang tidur anak, yang dibuat seperti hotel kapsul.
Masih ingat bukit cantik yang rimbun dengan trembesi? Di sisi terjauh bukit tersebut ada sebuah bangunan berwarna serasi dengan bangunan utama. Saya tertarik untuk melihatnya, dan Aang mengajak saya ke sana. Wangi tanaman serai yang ada di atas bangunan menyambut kehadiran saya. Ternyata bangunan tersebut adalah kamar utama.
“Banyak yang mengira ini gudang atau gardu listrik,” kata Aang sambil membukakan pintu. Saya dapat melihat kasur serta jendela besar yang menghadap ke belakang rumah dengan pemandangan pohon menjulang tinggi. Di sebelah kiri ada TV yang digantung, berdampingan dengan tangga untuk ke lantai bawah menuju kamar mandi.
Terlihat nyaman, area tersebut cukup luas hingga salah satu pojoknya digunakan untuk Aang atau Dite bekerja. Bekerja di dalam kamar mandi pun tak masalah. Nyaman, tenang, segar—hal-hal tersebut Aang butuhkan untuk rumahnya.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah visual: Erin Metasari