Kondisi seperti ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, dalam pertarungan Pilpres antara Donald Trump dan Hillary Clinton, atau di Inggris dalam kasus referendum Brexit, masyarakatnya juga sempat terbelah dua—bahkan sampai sekarang.
“Bila api ketemu api, api yang kecil pun bisa berubah jadi besar. Dan kita tidak bisa menyuruh orang lain untuk memadamkan api terlebih dulu. Jadi, yang harus kita lakukan adalah memadamkan api kita terlebih dulu,” Ratih menyarankan.
Langkah selanjutnya adalah menggunakan kembali akal sehat yang sebelumnya tersingkir karena termakan emosi. “Karena pada akhirnya, akal sehatlah yang akan menyadarkan kita. Bagaimanapun, jauh sebelum Pilkada, kita adalah keluarga, kita adalah teman, dan jangan sampai gara-gara pilihan yang berbeda, kita jadi bermusuhan,” lanjut Ratih.
“Berpikir proporsional sebelum bertindak—baik dalam berpolitik atau kehidupan sehari-hari—sangat diperlukan, agar kita mampu menalar segala sesuatunya dengan objektif. Kelola daya agresi agar tidak sampai merusak, dan fokus pada kepentingan bersama,” saran Ratih lagi.
Potensi konflik selalu ada
Ini yang selalu harus kita sadari. Selama masyarakat belum cukup dewasa, dalam berpolitik, beragama, dan sebagainya, potensi konflik akan selalu ada. Sehabis Pilkada ada Pilpres, sehabis Pilpres ada Pilkada lagi, begitu seterusnya. Satu dengan yang lain hanya berjarak waktu relatif pendek.
Satu konflik belum sepenuhnya terselesaikan, sudah muncul konflik berikutnya, terus menumpuk, dan pada suatu titik, meledak.
Budayawan Mohamad Sobary dalam wawancara dengan BBC Indonesia menyatakan setuju bahwa bangsa kita kini tengah membutuhkan rekonsiliasi. Rekonsiliasi adalah kebutuhan dasar manusia. Untuk bisa menerima perubahan, orang perlu melakukan rekonsiliasi di dua tingkat, yakni di tingkat pribadi dan tingkat sosial.
Pada tingkat pribadi, orang perlu berdamai dengan diri sendiri. Ia perlu sadar bahwa ia perlu berubah, supaya bisa terus hidup dengan damai dan berkembang.
Pada tingkat sosial, kita perlu melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak lainnya. Segala rasa benci dan dendam perlu dipahami, untuk kemudian diatasi. Luka-luka masa lalu perlu dibicarakan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terlibat.
“Pada akhirnya, rekonsiliasi tidak hanya soal perdamaian politik. Tapi juga adalah jalan menuju kedamaian hati,” begitu mengutip Mohamad Sobary.