.jpg)
Kadang-kadang, kita harus mengalami suatu hal yang 'pekta' untuk menjadi lebih baik.
Itu terjadi pada saya, ketika enam tahun lalu saya kena kanker payudara (mau bilang "divonis" kesannya kejam sekali). Sebenarnya saya sudah mencurigai ada apa-apanya dengan payudara saya setahun sebelumnya. Tapi karena 'sombong' (saya menyusui dua anak saya hingga 2,5 dan 1,5 tahun, tidak merokok), saya merasa tak mungkin saya kena kanker payudara.
Dan setahun kemudian, dokter onkologi ternama di Surabaya mengonfirmasi kondisi saya. Namun tak ada waktu untuk menangisi penyakit ini, kecuali meringis membayangkan biaya yang harus dikeluarkan.
Selama sekitar enam bulan, saya menjalani pengobatan dan terapi. Operasi mastektomi radikal karena ada dua sumber beda stadium (hanya sehari setelah didiagnosis), kemoterapi yang bikin saya baperan (dan ternyata saya lebih pede botak daripada rambut rontok), dan radiasi (yang saya perlakukan seperti acara makan siang).
Di sini saya menyadari bahwa menjalani pengobatan dan terapi kanker payudara ini adalah perjalanan bersama. Papa saya rajin menunggui saya kemoterapi, mama saya selalu memasakkan bekal makan siang ketika saya selesai operasi, anak-anak yang tak pernah menganggap saya sakit, sampai teman-teman yang memberikan scarf untuk kerudung sementara saya.
Setahun setelah pengobatan dan terapi, Alhamdulillah, saya dinyatakan bersih dari kanker. Namun setiap tahun saya harus selalu memastikan kondisi itu.
Menjadi survivor adalah pencapaian besar dalam hidup saya. Saat masih dalam pengobatan, saya kapok, tak mau sombong lagi, sehingga tak pasang target jangka panjang. Saya pasang target jangka pendek; bisa ambil rapor anak-anak saya, bisa merayakan ultah....
Menjadi survivor juga mengajarkan saya banyak hal, yaitu:
- Saat kita sakit, uang memang penting, namun dukungan keluarga dan teman-teman adalah health booster terbaik. Di kantor, saya mendapat siraman semangat luar biasa dari rekan-rekan kerja. Saya yakin, hal itu jadi salah satu obat saya.
- Meski berat, ketika kita sakit, mindset harus disetel happy. Sebagai single parent (ha ha, beneran, ini bukan cerita sinetron), saya memutuskan tak lagi mau menangis atau menangisi nasib. Sekarang, sih, saya menangis untuk film-film melodrama saja.
- Kanker payudara juga membuat saya lebih menghargai diri. Artinya, saya memilih menikmati hidup, tak mau terlalu memikirkan komentar orang, dan bersyukur saya bisa melewati 'sentilan hidup' saya.
Dan yang paling indah, menjadi survivor adalah ending dari episode lama hidup saya, sehingga saya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Mudah-mudahan saya bisa terus berkata, "saya survivor kanker payudara."