
Kami sudah tak sabar! Sesampainya di Fez, Maroko, saya dan keempat teman perjalanan ingin langsung mengeksplorasi lika-liku kota ini. Simpan koper di penginapan, penjelajahan pun dimulai.
Ada banyak tempat bersejarah di dalam medina (kota tua) Fez, namun karena sudah lewat tengah hari, kami cukup bahagia mendatangi pasarnya, sekadar melihat-lihat keramaian dan mencari makanan lezat untuk mengisi perut yang sudah keroncongan ini.
Jika diterjemahkan secara harfiah, medina berarti kota. Tembok tinggi mengelilingi area medina layaknya sebuah benteng. Jalan-jalannya sempit dan berbatu.
Inilah Kota Fez yang dibangun di era Dinasti Idris pada tahun 789. Hampir semua kota di Moroko memiliki medina—Casablanca, Fez,
Marrakesh, Tangier, dan lainnya. Karena kepadatan area, medina di Fez ini tidak boleh dimasuki kendaraan bermotor. Kalau ingin membawa barang banyak dan berat, ada keledai yang siap membantu.
“Ini adalah medina kedua terbesar di dunia, di sini ada 9.448 jalan,” begitu kata Bouchra, day manager penginapan kami. “Kalian perlu pemandu agar tahu harus pergi ke mana.” Pupus sudah rencana kami.
Pemandu kami datang esok paginya. Ia bernama Mohammad, pria paruh baya berkacamata. Pagi itu ia memakai celana panjang berwarna krem,
kemeja putih, dan jas tweed cokelat tua, sungguh serasi dengan warna medina. Saya pikir ia memakai tongkat, ternyata yang ia pegang adalah payung berwarna hitam. “Hari ini akan hujan,” katanya.
Hujan rintik menandai penjelajahan kami di kota tua Fez. Namun the show must go on. Tur berjalan kaki ini adalah cara paling tepat untuk berkenalan dengan medina tanpa takut salah jalan. Hampir semua penginapan dapat mengatur acara tur ini.
Untuk tur jalan kaki dengan jumlah peserta hingga enam orang berdurasi kira-kira lima jam, Anda cukup merogoh kocek sebesar 30 euro. Mata uang Maroko sebenarnya adalah dirham, namun mereka menerima pembayaran dengan euro.
Tujuan pertama kami adalah Bab Boujeloud, gerbang berwarna biru untuk memasuki Talaa Kebira, jalan utama yang dipenuhi toko-toko.
Makanan hingga kerajinan tangan ditawarkan para pedagang di sepanjang jalan yang sempit dan padat ini. Saya seperti terlempar kembali ke masa lampau.
Keluar dari area pasar, kami pun memasuki permukiman—dari jalan yang sempit ke jalan yang cukup lapang. Hujan juga sudah reda dan matahari kembali bersinar dengan terik. Kondisi seperti ini tentunya harus dimanfaatkan untuk foto-foto. Salah satu objek foto favorit saya adalah pintu.
Rumah-rumah di dalam medina selalu tertutup. Anda hanya bisa melihat pintu, sementara bangunan rumah terlindungi tembok tinggi. Pintu-pintu gerbang itu memang istimewa karena menggunakan bahan-bahan yang beragam—kayu, besi, atau kombinasi keduanya. Pemilihan warna hingga dekorasi membuat pintu di setiap rumah berbeda satu sama lain dan memiliki keunikan tersendiri.
Rupanya ada cerita di balik pintu-pintu tersebut. Seperti kota pada umumnya, medina juga memiliki pembagian area berdasarkan fungsi dan
kelas sosial. Daerah permukiman menengah atas, kata Mohammad, ditandai dengan jalan yang lumayan lapang dan pintu-pintu rumah yang cantik dan kokoh, karena terbuat dari bahan-bahan yang kuat dan dilengkapi bermacam detail dekorasi.
Sedangkan pintu-pintu rumah di wilayah permukiman menengah ke bawah tak terlihat istimewa. Hampir semua berwarna cokelat tua atau hitam. Jalanannya pun sempit, hanya cukup untuk dua orang berjalan kaki. Ini juga yang membuat area ini lebih lembap karena sulit ditembus sinar matahari saking padatnya.
Ketika melewati area ini, Mohammad membawa kami ke jalanan paling sempit di medina, hanya cukup untuk satu orang. Jika sedang berjalan di sini dan ada orang berjalan ke arah kita, maka diskusi harus terjadi untuk memutuskan siapa yang harus mundur! “Tenang, kamu pasti bisa melewatinya,” ujar Mohammad kepada saya. Hmm... saya berharap ia hanya bercanda.
Hampir sebagian besar penginapan yang ada di medina dulunya adalah rumah tinggal. Ada dua jenis penginapan di Maroko, riad dan dar—
biasanya terdiri atas tiga atau empat tingkat dan memiliki roof terrace.
Perbedaan riad dan dar terletak pada ukuran bangunannya. Riad berukuran lebih luas dengan kebun dan kolam di tengah rumah. Sementara dar hanya memiliki halaman kecil di tengah rumah. Kami tinggal di sebuah dar yang terdiri atas enam kamar.