
Hujan kembali turun ketika kami tiba di depan Al Qarawiyyin, universitas tertua di dunia. Sayangnya rute perjalanan kami hanya memungkinkan kami melewati sisi pintu masuk untuk pria. Jika waktu masih cukup Mohammad akan membawa kami ke pintu masuk wanita yang berlokasi di arah berlawanan.
Memakai payung untuk berlindung dari hujan di jalan-jalan medina ternyata sulit juga. Jalanan yang sempit dan banyak orang berlalu-lalang membuat payung sering berbenturan dengan banyak hal—orang lain atau pintu toko. Belum lagi jika ada keledai yang lewat membawa barang. Akhirnya, saya memutuskan untuk hujan-hujanan saja.
Kami masuk ke sebuah toko. Nourddine, sang pemilik toko, hadir menyambut. Ia membawa secarik kain dan langsung menyodorkannya ke
depan hidung saya. “Hirup,” ujarnya tanpa basa-basi. Saya terperangah. “Jika Anda punya masalah dengan pernapasan, hirup ini saja. Masalah langsung hilang,” katanya lagi. Oh, rupanya ia sedang memberikan sampel barang dagangannya.
Toko Nourddine berisi bermacam obat-obatan tradisional khas Maroko yang ia racik sendiri bersama ayahnya. Anda punya masalah apa,
Nourddine punya solusinya. Lucu juga melihatnya berdiri di tengah toko menggunakan jas putih panjang seperti dokter sambil menjelaskan berbagai obat-obatan yang ia miliki.
Yang menjadi andalan Nourddine dan selalu dicari oleh para turis tentu saja argan oil. “Ini bisa merangsang pertumbuhan rambut, oleskan di kulit kepala sambil dipijat. Diamkan kira-kira 30 hingga 40 menit,” kata Nourddine tentang salah satu cara manfaat argan oil.
Sebelum berpisah, Nourddine memberi kami secarik kertas. “Tulis sesuatu dalam bahasa kalian, saya akan memajangnya di sini,” katanya sambil menunjuk papan berisi potongan-potongan kertas bertuliskan bermacam bahasa. “Saya belum pernah kedatangan orang Indonesia.”
Perjalanan kami lanjutkan ke tempat bordir dan tenun. Saya jadi teringat perjalanan saya ke kampung Baduy Luar di Banten. Di sana para wanita menenun kain di teras rumah mereka. Sementara di sini, yang menenun semuanya pria.
Kendati bukan toko, di sini Anda bisa membeli selendang hingga selimut. Material yang paling banyak digunakan adalah katun dan sutra. Kami juga mendapat pelajaran cara memakai scarf ala padang pasir dari salah satu penenun.
Pemberhentian terakhir tur kami adalah tempat penyamakan kulit terbesar dan tertua di Maroko, Chouara. Tempat ini memproses kulit sapi, domba, kambing, dan unta untuk ditransformasi menjadi produk kulit berkualitas tinggi dalam bentuk tas, sepatu, dan jaket.
Seluruh prosesnya berjalan secara manual tanpa bantuan mesin modern, sama seperti yang dilakukan pada abad pertengahan. Ini menjadikan Chouara salah satu destinasi menarik yang wajib dikunjungi jika Anda datang ke Fez.
Pria yang menyambut kami di sini juga bernama Mohammad. Sebelum kami masuk, ia membagikan daun mint. “Untuk menutupi baunya,”
begitu katanya.
Kami lalu digiring ke lantai paling atas untuk bisa melihat tannery dengan leluasa. Memang benar, baunya luar biasa dahsyat, sehingga daun mint tak pernah lepas dari hidung saya.
Awalnya, kulit direndam dalam campuran urin sapi, kapur, air, dan garam selama dua hingga tiga hari. Setelah itu, kulit direndam dalam campuran air dan kotoran merpati yang mengandung amonia. Ini agar kulit menjadi lunak sehingga mudah untuk menyerap warna.
Pewarnanya juga memakai bahan alami. Biru menggunakan indigo, dan oranye dari hena. Pantas saja baunya ‘semerbak’ sekali. Meski sudah masuk area toko untuk melihat produk kulit yang sudah jadi, saya tetap merasa mencium bau yang sama. Untungnya daun mint tersedia di mana-mana.
“Ini kulit unta, kualitas terbaik,” kata Mohammad, “Tahan air dan tahan api,” ujarnya lagi. Ia lalu mengambil botol air dan menuangkan air ke atas sebuah tas. Ia kemudian menyalakan korek api. Api menjilat sebagian tas tersebut, namun tak ada bekas terbakar. Wah, ternyata ia sungguhan, bukan omdo!
Di penghujung hari, kami duduk-duduk di sudut Cafe Clock yang berlokasi tak jauh dari penginapan kami, sambil memandangi foto-foto indah yang kami ambil sesiangan tadi. Kini waktunya menikmati burger daging unta dan secangkir teh mint.
Foto: Nofi Triana Firman, Jana Broto