
Berhentilah sejenak. Hening, eling, dan khusyuk. Rasakanlah kemerdekaan menjadi manusia.
Setelah buku saya—judulnya Berhentilah Sejenak Sepuluh Kiat untuk Keluar dari Perangkap Waktu—terbit, seorang kawan mempertanyakan maksud anak judul buku itu. Bebas dari perangkap waktu? Benarkah waktu memerangkap kita? Bukankah waktu justru merupakan sarana kita untuk menikmati hidup? Kita butuh waktu untuk berlibur, bermesraan, dan mengalami berbagai keindahan dalam hidup, kan?
Waktu pertama kali belajar meditasi dari Prof. Suryani, SpKJ, dari Universitas Udayana Bali, pada akhir 90-an, saya bingung sewaktu kami diminta mengikuti instruksinya untuk merasakan tubuh secara perlahan-lahan, dari kepala hingga kaki: “Rasakan... rasakan mulai dari kepala, leher, tenggorokan, dada, perut….”
Pikiran saya ketika itu mendebat. Apa-apaan, sih, ini? Kok, tubuh sendiri mesti dirasa-rasakan? Prof. Suryani menjelaskan, perkara ‘merasakan’ ini memang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Sebab, begitu dijelaskan, pikiran akan berusaha untuk terus mencoba memahami dan mencari-cari kaitannya secara logis. Di situlah masalahnya—yang hendak kita capai dengan bermeditasi justru untuk mendiamkan pikiran. Membungkam sementara intelektualitas. Bagaimana pikiran bisa diam bila ia terus aktif mencari-cari?
Mendiamkan pikiran. Mengapa pikiran harus dibungkam? Karena, dari situlah sumber semua kekusutan. Kita membutuhkan pikiran untuk bisa bertahan hidup, untuk melaksanakan tugas sehari-hari, memikirkan berbagai strategi, dan menyelesaikan berbagai tantangan hidup. Pikiran kita adalah sarana kita menjalani kehidupan. Tapi, benarkah begitu?
[Apa kata para selebriti soal #MentalMerdeka? Cek di sini]
Seharusnya begitu, bila kita mampu berhenti sejenak setiap kali pikiran kita berputar terlalu cepat. Masalahnya, kita lebih sering lupa berhenti menggunakan pikiran dan akhirnya, alih-alih menggunakannya, justru kitalah yang didiktenya. Pada kasus yang esktrem, penyakit fisik, gangguan emosi, kejiwaan, dan kecanduan terjadi ketika pikiran kita telah mendikte kita. Stres, tidak bisa tidur, gelisah, selalu was-was, cemas, itu merupakan pertanda awal bahwa kita telah menjadi budak pikiran.
Ada pun gejala-gejala ringan kerap kita alami sehari-hari—mudah lupa, sulit berkonsentrasi, dan tidak sadar melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan, karena kita sedang dikuasai oleh pikiran. Mungkin Anda pernah ke mal atau pusat perbelanjaan, dan tiba-tiba terdorong membeli barang yang sebenarnya tidak Anda butuhkan.
Pada kasus yang berat, bahkan ada pengidap gangguan kejiwaan yang melakukan kekerasan atau tindak kriminal tanpa menyadari bahwa ia sebenarnya sedang mengikuti dikte atau perintah pikirannya.
Lalu apa hubungannya dengan waktu? Apa kaitan antara pikiran yang tak mampu berhenti sejenak dengan sang waktu? Saya mendapatkan jawabannya di dalam buku The Power of Now, karya Eckhart Tole. Menurut Tole, pikiran dan waktu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Singkatnya, pikiran kita menyukai dan melekat pada waktu yang telah lewat dan yang akan datang, namun selalu berusaha menghindari ‘saat ini’ (now). Sebab, pikiran hanya berfungsi ketika kita mengacu pada saat-saat yang sudah lewat atau yang akan lewat. Sementara bila diajak berada pada ‘saat ini’, maka pikiran tak berfungsi.
Tole mencontohkan dengan mengajak kita membayangkan kehidupan tanpa manusia. Hanya ada flora dan fauna. Masih adakah masa lalu dan masa datang? Tanpa pikiran, tanaman dan hewan hanya hidup pada ‘saat ini’. Mereka tidak akan hirau untuk bertanya, “Jam berapa ya, sekarang?” “Kapan kita akan layu dan mati?” Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan khas pikiran yang dimiliki manusia.
Karena sifat pikiran yang melekat pada waktu itulah, kita jadi merasakan cemas, stres, sakit, merana, menderita, takut. Kita merasa stres saat mengingat kejadian yang tak mengenakkan. Merana mengenang kejadian yang mengecewakan. Was-was akan kejadian yang mengancam. Takut akan nasib yang belum pasti. Waktu dan pikiran adalah duet abadi yang melahirkan penderitaan bagi manusia. Manusia pun terperangkap dan terjerat oleh pikirannya sendiri. Kita yang seharusnya pengendali atas pikiran kita berubah jadi budak yang dikendalikan pikiran
Salah satu cara keluar dari jeratan pikiran, menurut Tole, tampaknya klop dengan yang diajarkan Prof. Suryani. Yakni, dengan latihan merasakan diri sebagai tubuh. Karena dengan menghayati tubuh sendiri, pikiran kita otomatis tidak nglambrang ke mana-mana dan fokus pada saat ini dan di sini.
Yang jadi masalah, manusia modern diajarkan untuk menjalani hidup dengan mengandalkan pikiran. Kita berpikir maka kita ada. Akibatnya, pikiran kita terikat pada waktu. Alhasil, kita dengan mudah terperangkap dalam kenangan masa lalu yang tak menyenangkan. Atau dilanda kecemasan menghadapi masa datang yang tak pasti dan mengancam. Kita terikat dan tidak bebas.
Kesimpulannya, kebebasan berasal dari dalam diri, seperti yang selalu didengungkan oleh para guru spiritual. Hening, eling, dan khusuk tak lain merupakan kondisi pikiran yang terbebaskan dari pasangannya: Sang waktu. Karena itu, berhentilah sejenak. Rasakanlah kemerdekaan menjadi manusia. Rasakan menjadi manusia yang hakiki, dengan senantiasa berada di sini dan saat ini. Be here and right now.
[Baca juga 10 kunci hidup lebih bahagia]