
Passion tak mesti datang dari minat atau bakat. Passion juga bisa diciptakan sesuai pilihan hidup. Itu keyakinan Michelle Tjokrosaputro. Pilihan hidup itu pula yang menjadikannya seorang pebisnis tangguh.
Tubuhnya ramping, penampilannya segar. Gaya bicaranya santai bahkan cenderung polos. Rasanya saya sulit percaya bahwa ia adalah ibu dari tiga anak, sekaligus CEO dari Dan Liris Group yang membawahi beberapa anak perusahaan.
“Waktu kecil cita-cita saya jadi penari dan koreografer,” kata Michelle Tjokrosaputro, 36, saat saya temui di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun punya anak berprofesi sebagai penari sama sekali tidak ada dalam kamus orang tuanya yang turun-temurun menjadi pengusaha.
Kakeknya, Kasom Tjokrosaputro, adalah pengusaha batik. Ayahnya, Handiman Tjokrosaputro, pemilik PT Dan Liris, salah satu perusahaan tekstil dan konveksi terbesar di Indonesia, yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Tentunya orang tua Michelle ingin anak-anaknya menjadi penerus bisnis mereka.
Sebagai anak ketiga, sebenarnya beban Michelle tidak terlalu berat. Beban terberat ada di pundak kakaknya, Denise. Selain anak sulung, Denise lulusan sekolah tekstil dari Amerika Serikat. Michelle yang menjalani SMA-nya di Pennsylvania, AS, hanya menjadi ‘penggembira’.
“Lulus SMA, ibu menyuruh saya sekolah di Paris supaya saya yang tomboi ini jadi tertarik pada dunia fashion,” kata wanita kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, ini tertawa. Di Paris, ia mengambil studi International Business Administration and International Communications di American University of Paris, meskipun diam-diam ia mengambil kelas tari di sela-sela kuliah.
Di Paris pula ia bertemu jodohnya, Peter Danny Chandra, pria asal Kediri, yang saat itu bekerja di Paris. Setelah menikah, keduanya kembali ke Indonesia. Siapa sangka, sepulang dari berbulan madu di Australia, jalan hidup Michelle berubah 180 derajat.
Menjadi nakhoda baru
Krisis keuangan yang menimpa perusahaan ayahnya di awal dekade 2000-an memaksa Michelle ikut turun tangan membantu kakaknya. Sang ayah mulai sakit-sakitan, sementara Dan Liris terbelit kredit macet sehingga berada di ambang kebangkrutan. Seolah belum cukup, para pekerja pun melakukan mogok dan demo selama berhari-hari, memprotes kebijakan PHK yang terpaksa dilakukan pada sebagian karyawan.
Michelle yang selama ini tak tahu banyak tentang seluk-beluk bisnis ayahnya terpaksa harus ikut menghadapi semua itu. “Termasuk digoblok-goblokin oleh para karyawan yang berdemo. Tapi semua itu saya hadapi dan terima dengan ikhlas,” cerita Michelle, yang saat itu sedang hamil muda, tersenyum.
Tapi ada untungnya juga dulu ia sering berinteraksi akrab dengan para pekerja dan supervisor pabrik. Michelle kemudian jadi lebih mudah membuat kesepakatan dengan mereka.
Belum lagi masalah tuntas, sang kakak tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri karena ingin lebih fokus pada usahanya di bidang media. Michelle pun gelagapan. Awalnya ia ingin menolak. Tapi, Dan Liris adalah bayi kesayangan ayahnya dan ia tak mau mengecewakan sang ayah.
Michelle sadar, tak mudah memikul tanggung jawab sebesar itu, terutama menghadapi harapan sang ayah yang begitu tinggi terhadapnya. Akhirnya, ia pun membulatkan tekad untuk menerima permintaan ayahnya untuk memimpin Dan Liris. “Apa pun yang nanti akan terjadi, I want to fight for Dan Liris and for my dad,” begitu tekadnya waktu itu.
Dibenturkan langsung dengan keras di awal kariernya ternyata ikut menempa mentalnya sebagai pengusaha. Dibantu oleh orang tua dan jajaran direktur yang sebagian besar sudah bekerja puluhan tahun di Dan Liris, keikhlasan dari sang suami—yang disebutnya sebagai ‘the best husband in the world’—serta memanjatkan doa tak putus-putus kepada Tuhan, Michelle berusaha sekuat tenaga dan mencoba berbagai terobosan untuk menyelamatkan Dan Liris dari kebangkrutan.
Sepuluh tahun kemudian, bukan saja utang Dan Liris dinyatakan lancar. Omzet perusahaan juga bertumbuh tiga kali lipat. Sayangnya sang ayah keburu wafat sehingga tak sempat menyaksikan keberhasilan Michelle.