
Ternyata bisnis itu mengasyikkan!
Sebenarnya bakat bisnis sudah mengalir di nadi Michelle jauh sebelum itu. Sebelum menikah, ia pernah memproduksi tas-tas wanita, yang dijualnya ke sejumlah department store dan hypermarket di Indonesia. Namun ia sama sekali tak berniat mengurus bisnis besar. Karena kesibukan mengurus perusahaan ayahnya, usaha tasnya terpaksa ia tinggalkan.
Siapa sangka keberhasilannya menyelamatkan Dan Liris membangkitkan kembali naluri bisnis Michelle yang selama ini dianggapnya biasa-biasa saja. Ia menyadari, meski harus jatuh-bangun, ternyata mengurus bisnis itu sangat mengasyikkan. “Ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri, terutama ketika saya bisa menghasilkan banyak uang untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan membuka lebih banyak lapangan kerja,” katanya, sederhana.
Kreativitas ibu dari Thierry, 11, Pierre, 9, dan James, 7, ini pun berkembang tanpa bisa ditahan lagi. Ia memiliki pabrik tekstil sekaligus pabrik konveksi sendiri, namun selama ini hanya melayani order dari brand-brand terkenal di luar negeri, antara lain Marks & Spencer, Tommy Hilfiger, Calvin Klein, dan DKNY. Alangkah sayangnya kalau ia tidak membuat brand pakaian sendiri.
Maka pada tahun 2013, Michelle mendirikan Bateeq, brand pakaian yang menyasar pasar anak muda di bawah bendera PT Efrata Retailindo. “Meskipun namanya Bateeq, yang kami produksi adalah pakaian dari kain print bermotif batik atau terinspirasi motif batik.”
Ia menambahkan, “Padahal, saya nggak bisa menggambar atau mendesain baju. Tapi saya, kan, bisa mempekerjakan para desainer muda yang kreatif. Selain itu, sebagai perusahaan konveksi, kami punya banyak penjahit yang sangat berpengalaman.”
Belum sampai empat tahun, kini Bateeq telah memiliki 56 toko, 36 stand-alone, dan 20 gerai di depsto di seluruh Indonesia. Itu belum termasuk yang dipasarkan secara online lewat sejumlah situs belanja. Selain menciptakan desain dan warna kekinian yang digemari anak muda, Michelle memberi pelayanan plus-plus bagi pelanggannya.
Misalnya, karena semua tokonya sudah online, bila ada pelanggan yang menginginkan desain tertentu tapi tak ada ukurannya, SPG bisa mengecek secara online di gerai Bateeq lain, dan kalau tersedia, barangnya bisa dikirim dalam waktu dua hari. Pelanggan juga bisa menjahitkan pakaian sesuai dengan desain pilihannya sendiri (tapi dengan material dari Bateeq). “Karena itu, para SPG kami dibekali dengan skill mengukur tubuh,” ungkap Michelle.
Merajut mimpi baru
Risiko memiliki pabrik tekstil adalah mesinnya harus terus beroperasi agar tidak rugi. Karena sering bergaul dengan para desainer pakaian, Michelle jadi tahu bahwa mereka sering kesulitan mendapatkan material yang diinginkan tapi dalam jumlah terbatas. Pabrik tekstil yang ada biasanya hanya mau melayani partai besar. Peluang itulah yang direbut oleh Michelle lewat mesin-mesin kapasitas kecil yang dimiliki pabriknya.
Dan karena memiliki lisensi resmi untuk mengimpor kain dari luar negeri, Michelle juga bisa membantu para desainer yang membutuhkan kain impor dalam jumlah terbatas. Karena ia memiliki banyak penjahit berpengalaman, ia juga bisa sekaligus menyediakan tenaga penjahit bagi para desainer.
Masih ada dua anak perusahaan lagi di bawah Dan Liris Group yang dikelola Michelle. Salah satunya adalah mengerjakan order produksi baju boneka Barbie dan American Girl. Sedangkan satu perusahaan lagi disebutnya sebagai ‘mainan Mami’, yang memproduksi barang-barang kerajinan, khususnya dari sisa kain yang tidak terpakai, seperti kap lampu, tas, dan sebagainya.
Di salah satu sudut pabrik, dibuat gerai khusus yang memamerkan barang-barang kerajinan tersebut. “Sejak dulu memang ibu saya (Elizabeth Sindoro—red) yang mengelola divisi itu,” katanya.
Untuk menjalankan semua kegiatannya itu, setiap minggu ia ke Sukoharjo. “Setiap Rabu saya berangkat dari Jakarta ke Solo dengan pesawat terpagi, lalu seharian bekerja menyelesaikan semua pekerjaan di pabrik, mengobrol dan bersenda gurau dengan para karyawan pabrik dan supervisor. Kamis sorenya, saya sudah ada di Jakarta lagi,” katanya.
Kalau sedang libur sekolah, anak-anak akan ikut ibunya ke Sukoharjo, lalu bersama-sama mereka naik sepeda berkeliling area pabrik yang luasnya 50 hektare dan terdiri atas 12 unit pabrik. “Sambil sesekali ngejar-ngejar kucing yang banyak berkeliaran di sana,” katanya, tertawa.
Meski begitu, Michelle yang kini aktif sebagai Vice Chairman of Foreign Trade di Asosiasi Tekstil Indonesia serta di Young President Organizations (YPO) masih punya mimpi lain terkait dengan Bateeq, ‘bayi’ pertama yang dilahirkannya sendiri. “Saya ingin Bateeq menjadi ‘the next Zara’. Saya yakin bisa terwujud kalau kami konsisten dan mau kerja keras,” katanya yakin.
Untuk sampai ke tahap itu, ia mempersiapkan diri untuk go international dengan mengikuti program Indonesia Fashion Forward, program inkubasi binaan Jakarta Fashion Week bagi desainer muda agar lebih siap menghadapi pasar luar negeri.
Lantas bagaimana dengan mimpi masa kecilnya? “Saya tetap bisa menyalurkan hobi menari dengan ngajar anak-anak menari di Sekolah Minggu di gereja. Lumayan bisa joget-joget dan lompat-lompat bersama anak-anak kecil, ha ha ha…,” ujar Michelle, yang kini sedang merintis usaha baru berupa online travel agent bernama Travorama bersama suaminya.
Foto: Dhanny Indrianto, Jane Djuarahadi
Pengarah gaya: Erin Metasari