Saat saya temui, Evie sedang membantu bibinya, Komang Supadmi, penari senior dan pemilik sebuah sanggar tari Bali yang sudah puluhan tahun mengajar tari Bali, kepada anak-anak penduduk sekitar hotel itu. Di sanggar itu pula Evie kecil 30 tahun silam mulai belajar menari dari sang bibi. “Evie ini sangat berbakat,” cerita bibinya. “Sejak usia empat tahun dia sudah mahir menari. Kalau soal menari, semuanya memang harus dari sini,” ujar Komang Supadmi seraya menunjuk dadanya.
Evie dan bibinya biasa tampil dalam pergelaran rutin tari Bali di hotel itu. Di situ pula ia berjumpa dengan belahan jiwanya, Vaughan Hatch, seorang sarjana Arkeologi lulusan Otago University, Selandia Baru. Vaughan ketika itu tengah belajar tentang gamelan Bali di Institut Seni Indonesia di Bali. Pemuda yang mondok di sebelah Hotel Tanjung Sari ini sering menonton dan diam-diam menaruh hati pada si penari cantik berkulit sawo matang. Keduanya lalu menikah dan kini dikaruniai dua orang putra: Semara, 10, dan Prana, 6.
Kedua bocah tersebut kini menjelma jadi seniman cilik tari Bali sekaligus mahir memainkan instrument gamelan. Keluarga Hatch pun sudah berkali-kali tampil dalam pertunjukan tari dan gamelan Bali di dalam dan luar negeri. Si sulung Semara bahkan telah menggubah gending atau gubahan melodinya sendiri dengan menggunakan instrumen tua selonding pada usia enam tahun.
“Justru suami saya—yang orang asing—yang membukakan mata saya tentang betapa kayanya seni budaya Bali, sehingga keluarga besar saya semua terdorong untuk ikut menjaga, memopulerkan, dan melestarikannya,” kata Evie.
Sedari masih kuliah di ISI, sebagai seorang musikolog autodidak, Vaughan sering merasa tidak puas dengan apa yang didapatnya di bangku kuliah. “Gending dan peralatan gamelan yang semula menarik saya untuk belajar di Bali dan yang tersimpan di berbagai museum di luar negeri ternyata tidak banyak dibahas di kelas, dan tidak banyak pula dimainkan di Bali ini,” Vaughan menyampaikan kekecewaannya.
Seperti juga nasib banyak tradisi dan seni klasik Indonesia yang lain, orkestra klasik Bali dan
instrumennya juga perlahan tergeser oleh berbagai gubahan baru. Sebagian lagi telah terkikis keasliannya setelah dimodifikasi demi kepraktisan, atau karena kurangnya perhatian, pengetahuan, dan apresiasi.
Vaughan memperlihatkan kaset-kaset lama yang pada sampulnya tertulis Gamelan Klasik Bali dengan sederet nama seniman Bali bergelar akedemis tercantum di sana. Padahal, di telinga Vaughan yang giat meneliti gamelan kuno, komposisi dan gaya gending serta suara gamelan yang direkam dan diedarkan dalam bentuk kaset itu bukanlah gamelan klasik Bali. Vaughan menyadari, dibutuhkan kemauan dari dalam, ketekunan, dan terutama apresiasi terhadap seni dan tradisi Bali untuk menghadirkan kembali gending-gending kuno dengan instrumen aslinya.
Dalam pencarian mereka, Vaughan dan Evie berhasil menemukan gamelan dan gending yang masih asli, yang pada zaman kerajaan dahulu kerap dimainkan di berbagai pura desa di Bali. Singkat cerita, sejak zaman kemerdekaan, ketika Bali dan Indonesia perlahan memasuki era modern, berbagai perangkat instrument tua dengan gending-gending asli ini hanya dimainkan secara terbatas oleh kalangan pemangku (pemimpin upacara keagamaan) dan keluarganya untuk mengiringi ritual tertentu. Mungkin karena seolah-olah disakralkan, gending-gending asli itu pun akhirnya jadi tidak populer.
Gending-gending kuno itu terancam kepunahan. Inilah yang ingin dihidupkan lagi oleh pasangan Evie dan Vaughan Hatch.
Menurut penelusuran Vaughan, sejauh ini ada lebih dari 45 jenis gamelan yang berbeda di Bali dengan ratusan jenis tariannya. Kebanyakan sudah sangat langka dan terancam punah. Vaughan menduga, tidak populernya kesenian klasik itu karena tergeser oleh modernisasi, globalisasi, dan kebijakan pariwisata yang tak terarah.
Yang menarik, pencarian yang awalnya cuma dijalani berdua itu kini berubah menjadi perjalanan berempat dengan hadirnya dua buah cinta mereka, Semara dan Prana. Bahkan, kini nyaris seluruh anggota keluarga besar Evie ikut bergabung. Lewat sebuah sanggar seni gamelan dan tari bernama Yayasan Mekar Bhuana, keluarga ini bergotong-royong mengupayakan penyelamatan perangkat gamelan kuno dan pelestarian gending-gending lama dengan mencari sendiri ke desa-desa.
Mereka mendatangi para seniman tua yang masih memainkan dan mengingat gending-gending lama seperti Semara Pagulingan, Semara Pelegongan, Gender Wayang, dan juga selonding. Mereka juga mengajak para seniman tua itu untuk mengajarkannya ke desa-desa lain, lalu menampilkannya bersama di berbagai festival di Bali. Setiap minggu, keluarga besar Evie juga berkumpul di studio Mekar Bhuana untuk berlatih memainkan gending-gending lama.
Meski dilakukan tanpa gembar-gembor, apa yang diupayakan oleh Evie dan Vaughan sungguh tak ternilai harganya bagi kesenian Bali: Melestarikan dan merekonstruksi berbagai gamelan klasik dan gending-gending Bali yang nyaris punah. Waktu Vaughan masih kuliah, dengan uang beasiswanya yang terbatas, ia rela menjual mobil kuno VW-nya untuk ditukar dengan seperangkat gamelan kuno yang ditemukannya di sebuah desa. Setelah itu, ia seolah tidak bisa berhenti.
Hingga sekarang ia masih sering membeli dan memugar instrumen-instrumen gamelan yang sudah rusak. Di studio mereka bertumpuk perangkat berbagai gamelan kuno hasil perburuan mereka ke berbagai desa di Bali.
Evie sendiri melanjutkan hobinya menari, menggubah koreografi, serta mengajar tari di studio Mekar Bhuana di rumah mereka. Para muridnya kebanyakan orang asing yang belajar secara privat. Bahkan kini ia sudah menggunakan metode jarak jauh: Belajar menari lewat skype. Sementara itu, lewat Yayasan Mekar Bhuana, Evie dan Vaughan aktif memproduksi rekaman audio dan video, serta merekonstruksi pertunjukan tari menggunakan instrumen antik.